Orang kampung memiliki cara tersendiri terkait dengan sosialisasi tatanan, internalisasi nilai, dan semacamnya. Mereka memiliki resep bagaimana rasa saling kenal dibangun. Saya teringat beberapa waktu yang lalu, saya seorang senior menikahkan anaknya, sebagian besar urusan diserahkan kepada masyarakat kampung.
Saya sempat berdiskusi, mengapa orang kampung mau nimbrung dalam urusan orang lain. Menurut mereka, yang mereka bantu bukanlah orang lain, melainkan saudara mereka sendiri, yang namanya syedara lingka. Mereka membantu orang lain, karena pada saat yang lain, tenaga orang lain dibutuhkan untuk berbagai hajatan di rumah mereka.
Begitulah anggapan mereka. Suatu hajatan tidak akan mampu dilaksanakan kalau hanya bertumpu pada keluarga besar mereka saja. Banyak hal yang harus diurus dan itu tidak cukup hanya dengan anggota keluarga yang ada. Saat hajatan, berbagai persoalan mesti diselesaikan, dari hal yang sederhana, hingga hal yang kompleks. Hal yang sederhana, seperti mengatur parkir atau mencuci piring, sedang hal yang kompleks, seperti mengatur bagaimana hajatan berjalan lancar.
Kepentingan semacam ini yang membuat mereka menyadari bagaimana mereka membutuhkan orang lain. Hal semacam ini baru bisa berjalan saat orang-orang yang ada di dalamnya itu saling mengenal satu sama lain.
Untuk proses saling kenal, juga ada ruangnya. Setiap tumpuk masyarakat, mulai dari lingkungan rukun tetangga hingga kampung, mulai dari jurong hingga mukim, memiliki cara sendiri untuk menilai seseorang yang tidak bersosialisasi. Konteks ini sendiri terbagi dua, mereka yang tidak bersosialisasi, namun tidak menimbulkan masalah dan beban bagi orang lain. Satu lagi, ada sebagian orang yang sudah tidak bermasyarakat, justru melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain. Ketika orang yang disebut terakhir ini lewat jalan yang di sekitarnya ada orang duduk, maka timbul pembicaraan tidak baik. Belum lagi mereka yang terlibat membuat masalah yang tidak nyaman warga kampung.
Posisi orang yang berbuat seperti ini, tidak hanya membuat tidak nyaman yang bersangkutan saja. Banyak orang-orang yang di sekitarnya juga menjadi korban –turut menerima getahnya. Seorang ibu yang telah melahirkan anaknya, batinnya akan trenyuh ketika mengetahui tingkah polah anaknya di luar rumah. Ketika anaknya dibicarakan di mana-mana dalam hal tidak baik, dadanya akan sesak. Begitu juga dengan anggota keluarganya yang lain. Malu rasanya mengalami hal demikian.
Untuk jenis yang satu lagi, memang tidak membuat sesuatu yang merugikan orang lain, akan tetapi sangat pasif. Orang yang bertipe begini, jarang sekali tampak ke pertemuan-pertemuan warga. Absennya bukan karena ada halangan tertentu, melainkan memang tidak mau –mungkin juga ada alasan tertentu yang membuat orang bertingkah demikian. Saling bertemu itu cukup penting dalam masyarakat. Dengan saling bertemu akan membuat banyak masalah kampung selesai. Dengan seringnya bertemu, membuat minimnya masalah yang muncul. saling berkomunikasi –sebagai implikasi dari bertemu—berpotensi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada dan muncul dalam masyarakat.
Alasan inilah mengapa orang kampung itu merasa mereka yang tinggal di sana harus saling berkomunikasi –yang hal ini pun di beberapa tempat juga sudah berubah, terutama dengan pengaruh konflik panjang yang membuat orang tidak berani menyapa satu sama lain. Idealnya ada basa-basi. Jadi ke luar ke tempat-tempat orang banyak, tidak semata ingin ada andil dalam hal tertentu, melainkan yang paling minimal, adanya saling bertukar wajah. Pola demikian sangat sederhana, sehingga membuat dalam satu kampung tidak merasa asing antara satu dengan yang lain. Tidak ada warga yang tidak dikenal oleh warga lain. Justru ketika ada yang demikian, itu akan dianggap aib besar bagi mereka.
Dahulu dalam masyarakat ini memiliki pola tertentu. Ruang yang paling efektif digunakan untuk saling berkomunikasi itu adalah melalui shalat jamaah. Di tempat tertentu, orang yang tidak pernah datang ke tempat shalat jamaah, ada yang dijemput lalu dibawa paksa. Ada juga perlakuan tertentu terhadap keluarga yang demikian. Apalagi mereka yang baru masuk ke tempat tertentu itu, baik alasan berkeluarga maupun memilih tinggal di tempat yang bersangkutan. Orang yang baru, akan dijamu secara khusus dan diperkenalkan agar orang lain mengenalnya. Banyak kampung yang melakukan demikian hingga sekarang –walau harus juga diakui, banyak kampung yang sudah meninggalkan.
Hakikatnya sederhana. Semakin mereka mengenal satu sama lain, semakin mereka berkontribusi untuk membuat hidup sesama mereka itu terasa nyaman. Maka semakin banyak orang yang nyaman, akan semakin mereka bahagia, makin sedikit masalah yang muncul sesama mereka. Adakah masyarakat yang lebih bahagia dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah mengalami masalah antara sesama?
Bahagia menjadi kunci dari proses kehidupan mereka. Bahagia bersama tidak mungkin terjadi tanpa ikut membahagiakan orang lain. Bagaimana orang-orang akan membahagiakan orang lain? Cara paling sederhana adalah tidak membuat masalah dalam kehidupan bersama.
Ada satu titik dimana orang lain menjadi tujuan. Apapun yang kita lakukan, termasuk bagaimana menjalani hidup kita sendiri, tidak lepas dari bagaimana kita memberi perhatian dalam kehidupan yang lebih luas. Hal itu yang akan menentukan semuanya berjalan sempurna.
Jika hidup adalah proses belajar, maka sungguh saling memberikan kebahagiaan juga sebagai sebuah proses belajar. Dengan demikian, apapun yang kita alami, dan kita persiapkan, tidak lepas dari proses belajar itu.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.