Predator Seksual

Sudah sering kita membaca tragedi. Orang dekat yang menjadi predator kejahatan seksual terhadap anak. Miris sekali, terjadinya kejahatan ini tidak selalu berasal dan dilakukan dari orang yang jauh. Banyak kasus justru kejahatan terjadi dilakukan oleh …

Sudah sering kita membaca tragedi. Orang dekat yang menjadi predator kejahatan seksual terhadap anak. Miris sekali, terjadinya kejahatan ini tidak selalu berasal dan dilakukan dari orang yang jauh. Banyak kasus justru kejahatan terjadi dilakukan oleh orang-orang dekat. Apa yang menyebabkan orang-orang dekat tega melakukan hal yang biadab begitu?

Tidak bisa kita duga-duga. Tentu ada banyak alasan. Sekali lagi, tanpa menguasai masalah, tidak mungkin saya bisa mengurai hal apa saja yang sangat substansial menjadi penyebab kejahatan ini. Ada hal lain yang kiranya bisa saya beri catatan, bahwa betapa ternyata anak harus mewaspadai orang-orang.

Potret ini membuat saya juga teringat hal lain yang tidak kalah menggelisahkan. Selama ini ada temuan penting dalam ilmu kriminal, bahwa pelaku kejahatan tidak seperti yang digambarkan dalam teori-teori kriminal masa lalu. Dulu pelaku kriminal digambarkan berwajah angker dan tidak bersahabat. Sekarang justru sebaliknya. Pelaku kriminal, bisa saja oleh mereka yang berwajah cantik dan tampan.

Kejahatan tidak selalu terjadi di tempat yang kumuh dan sepi. Justru masa kini, kejahatan juga berlangsung dalam keramaian dan di kawasan yang elite. Kawasan yang tidak dibayangkan terjadinya kejahatan, justru berselimak dengan berbagai modus dan perilaku jahat.

Perilaku yang memalak orang tidak hanya terjadi dalam wujud yang lama. Semua telah berubah. Pelaku preman bergeser menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Bahkan mereka yang beprofesi preman, tidak selalu juga berdiri dari persimpangan yang angker, melainkan di gedung-gedung mewah dan kadang-kadang dengan pakaian yang necis.

Bisakah Anda bayangkan bagaimana korupsi berlaku dalam lingkungan yang tidak sederhana? Siapa yang bisa menyolong dan mencoleng? Tidak sembarang orang. Melainkan mereka yang memiliki tempat khusus.

Kembali ke soal anak. Berbagai potret kejahatan hanya untuk menggambarkan betapa kejahatan itu semakin dekat dengan kita dalam wajah yang sudah berbeda dengan sebelumnya. Termasuk dalam hal kejahatan anak, modus dan pelaku sudah tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada masa depan.

Dua hari lalu, 23 Juli, adalah hari anak. Kebetulan, ada yang sedikit longgar, saya berdiam di rumah. Ketika ada waktu begini, ada banyak hal yang bisa dikerjakan. Terutama, karena saya sedang belajar, buku-buku yang harus disusun ulang dan biasanya itu akan membutuhkan waktu berhari-hari. Dengan dua lemari buku saja, buku yang tersedia sudah tidak muat. Buku-buku itu sendiri bukan semua buku mahal. Kebanyakan justru dibeli saat ada pameran dan semacamnya. Saya juga sering mengunjungi toko buku lama –sebenarnya bukan toko—warung-warung kecil yang ada sepanjang jalan alternatif. Di sana, biasanya ada buku tertentu yang langka, dengan harga yang murah. Banyak buku baru sebenarnya juga dijual di sana, tetapi biasanya yang ada sejumlah lembar cacat.

Sambil merapikan hal itu, sesekali melihat sejumlah tayangan. Pagi hari ada sejumlah tayangan pengobatan herbal, dengan sedikit kartun yang mendidik. Sebenarnya ada banyak tayangan kartun, akan tetapi kartun-kartun itu tak seluruhnya layak untuk anak. Sebagian sepertinya sengaja diperuntukkan untuk mereka yang sudah dewasa. Dari dialog dan gambar, sungguh tak layak jika itu disebut untuk anak-anak. Belum lagi sejumlah tayangan yang jelas-jelas berkategori dewasa, namun bertulis untuk semua umur dan ditayangkan ketika anak-anak berdiam di muka televisi.

Ada banyak tayangan yang sesungguhnya untuk hiburan, namun ditayangkan dengan tidak bermoral. Sinetron-sinetron cabul juga bertambah banyak, dengan menggunakaan banyak pemain remaja dan ini jelas juga mengincar penonton remaja. Tak bisa dibayangkan sinetron-sinetron yang dimainkan oleh mereka yang masih belia, namun melakoni peran-peran yang seharusnya hanya untuk orang dewasa. Akan tetapi siapa yang peduli? Kita menganggap semua sudah pantas-pantas saja.

Dan inilah yang terjadi. Ketika kemarin banyak tayangan yang sesungguhnya diperuntukkan dalam rangka memperingati hari anak, justru sepertinya tayangan-tayangan itu bukan untuk mereka. Bukan untuk anak-anak. Melainkan untuk mereka yang sudah dewasa. Hampir tidak bisa kita temukan lagi syair-syair lagu anak-anak yang memang cocok untuk anak-anak. Orang dewasa sudah terlanjur menyuguhkan syair-syair cabul untuk mereka yang belum dewasa. Kasihan sekali ketika orang tua menggunakan anak-anak untuk memuaskan nafsu cabulnya dengan menggunakan anak menyanyikan syair-syair cabul itu.

Sejumlah panggung untuk anak disediakan, namun nyatanya sudah tidak cocok untuk anak. Sekali lagi, kalau pun ada yang peduli, mau melakukan apa dalam kondisi yang sepertinya sudah serba membolehkan. Tidak bisa diatur yang demikian, karena itu dianggap sebagai wujud kebebasan berekspresi. Atas nama kebebasan, semua serba dibolehkan, dan masyarakat juga merasa hal-hal demikian bukan lagi sesuatu yang digelisahkan.

Barangkali memang sudah saatnya ketika mereka yang sudah dewasa, dalam berbisnis semacam itu, sangat menarik untuk menggunakan anak-anak. Orang dewasa mencari uang dengan cara menyedihkan, menggunakan anak-anak secara sadar dan massif. Untuk strata ini tidak kita sebut mengeksploitasi sebagaimana jika ada seorang warga papa yang menggunakan tenaga anaknya untuk bekerja.

Saya hanya ingin mengingatkan, kita harus menjadi bagian untuk mendayagunakan tenaga melawan sesuatu yang menghinakan posisi anak. Paling lemah, kita tidak menjadi penonton tayangan-tayangan murahan dengan menjadikan anak sebagai sasaran. Kita harus bergerak dan bersikap.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment