Harus Membalas Kebaikan dengan Kebaikan

Tidak elok membandingkan sesuatu itu selalu dengan harga. Apa yang dilakukan oleh orang lain terhadap kita, tidak mudah untuk mengukurnya dengan harga. Secara sederhana, mungkin apa pun bisa dikalkulasi, namun ketika sesuatu itu dilakukan, dengan …

Tidak elok membandingkan sesuatu itu selalu dengan harga. Apa yang dilakukan oleh orang lain terhadap kita, tidak mudah untuk mengukurnya dengan harga. Secara sederhana, mungkin apa pun bisa dikalkulasi, namun ketika sesuatu itu dilakukan, dengan berbagai tujuan di dalamnya, maka kalkulasi itu sungguh tidak berbanding nilainya.

Katakanlah ada perbedaan antara harga dan nilai. Harga inilah yang bisa dipatok. Semua barang bisa ditafsirkan harganya. Seperti pembawaan cendera mata untuk orang yang berpesta, semua bawaan itu bisa diberikan harganya. Orang-orang yang berspesifikasi dagang, dengan menentukan berapa harga suatu barang yang dibawa. Namun ketika ia dikonversikan dengan kehadiran dan niatnya, maka tidak cukup hanya dengan melihat harga, melainkan harus dicoba untuk mengukur-ukur nilai. Dan ini bukan pekerjaan mudah.

Kita sering menganggap semua masalah secara sederhana dengan angka. Apa pun yang dilakukan oleh orang lain untuk kita, tanpa kita sadari, sering diukur dengan angka-angka. Padahal banyak orang menganggap angka itu tidak penting, nilai yang sangat berharga pada sebagian orang. Pencapaian nilai adalah cermin dari bagaimana seseorang berproses dalam hidupnya. Sekiranya ini dipahami, maka apapun yang dilakukan oleh orang lain, sederhana atau rumit bagi kita, menjadi tidak penting. Pencapaian demikian dilalui dengan proses yang sangat bersahaja.

Seorang tetangga saya dulu sangat heran ada orang yang mengunjungi rumah kontrak saya, membawa sesuatu yang baginya sangat rumit. Ketika bertamu ke rumah saya, sang tamu membawa beberapa sisir pisang yang masih bergetah, plus nanas yang masih bertangkai. Di dalam kantong kresek, ada pula ikatan beberapa sayuran. Sang tamu saya itu memiliki beberapa petak kebun yang selalu ditanami. Tidak ada istilah istirahat. Setiap saya berkunjung ke sana, saya lihat sendiri selalu saja ada tanaman di kebunnya.

Dengan demikian, apa yang dibawa ke rumah saya adalah sesuatu yang khusus diangkut dari rumahnya. Memang pisang atau nanas bisa dibeli di mana saja. Orang yang biasa melihat bagaimana pisang yang bertumpuk di tempat penjualan, dengan yang dibawa secara khusus, sedikit banyak bisa dibedakan. Demikian juga dengan nanas yang bergantung di pasar.

Sesuatu yang dibawa khusus itu, mungkin menyulitkan dalam pandangan sebagian kita. sekiranya kita kalkulasi dengan angka-angka, barang bawaan demikian pasti bisa diukur. Lalu dengan angka itu, bisa saja orang membelinya di sepanjang jalan yang tersedia untuk dibawa. Di sinilah berbeda harganya. Sesuatu yang harus dipahami, mengenai bagaimana tamu menghargai secara sempurna terhadap tuan rumah.

Sebelumnya, saya kadang-kadang juga mencoba berfikir angka. Suatu kali saya mencoba menghitung dan memutar ulang seberapa banyak saya sudah menerima pemberian dan perilaku baik dari orang lain. Sesuatu yang saya terima dari orang yang datang atau bahkan dari tetangga tempat tinggal. Hasilnya, walau dengan rumus yang jitu, tidak terhitung. Kata orang kita, tidak terbilang.

Padahal, ketika saya putar ulang memori, apa yang saya berikan juga tidak lebih. Ternyata bukan pada seberapa angka yang kita berikan. Sesuatu yang kita berikan kepada orang lain, tidak ditentukan oleh sebesar apa harga barang yang kita berikan tersebut. Setiap orang yang menerima, berfikir tentang hal lain yang tidak sederhana –dan sebagian kita menganggap pikiran itu sebagai sesuatu yang rumit.

Bagi cukup banyak orang, kebaikan orang harus dibalas dengan kebaikan yang tiada tara. Jarang dibalas sebanding dengan kebaikan awalnya. Justru akan dilakukan kebaikan yang berlipat-lipat. Lantas mengapa kita masih ragu dan harus berhenti untuk terus melakukan dan menebar perbuatan baik?

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment