Berusahalah Tanpa Batas

Keluhan itu biasa datang dari mana saja. Orang dari berbagai penjuru memiliki keluhan masing-masing. Dengan berbagai corak ragamnya. Ada yang berat, ada yang lemah. Ada yang mengungkapkan keluhan lebih besar dari senyatanya, namun ada juga …

Keluhan itu biasa datang dari mana saja. Orang dari berbagai penjuru memiliki keluhan masing-masing. Dengan berbagai corak ragamnya. Ada yang berat, ada yang lemah. Ada yang mengungkapkan keluhan lebih besar dari senyatanya, namun ada juga yang sebaliknya, mengungkapkan keluhan lebih kecil dari keadaan yang dirasakan.

Ada orang yang tidak ingin semua orang mengetahui apa yang dikeluhkan. Walau yang namanya keluhan, kadang-kadang pihak lain yang berkepentingan harus tahu, agar mereka dapatkan memperbaiki diri. Namun keluhan yang sifatnya tidak mesti untuk dikeluhkan, ada orang yang hanya menyimpannya dan tidak perlu membuat gaduh banyak orang.

Keluhan juga terkait dengan hal lain. Banyak orang yang membandingkan-bandingkan pendapatan –bukan pendapat. Banyak orang mengeluh mengenai pendapatannya yang selalu dirasa kurang. Padahal dari pengalaman banyak orang juga, semakin banyak pendapatan, semakin bergelimang, juga merasakan hal yang sama: selalu merasa kurang.

Tipe ini, orang suka selalu melihat ke atas, dan lupa untuk melihat ke bawah. Dengan melihat ke atas, dari segi semangat akan menguntungkan karena akan menggelora usaha. Namun risikonya adalah miskin rasa syukur. Sebaliknya, dengan sering melihat ke bawah, akan membuat orang tersadar bahwa ternyata ada orang lain yang berkekurangan justru bukan saja tak mengeluh, melainkan juga merasakan hajat hidupnya selalu terpenuhi.

Suatu kali saya mengamati petani di dekat tempat tinggal sementara saya. Mereka sangat rajin berusaha. Tentu untuk setiap hari saya tidak menyaksikan secara langsung. Namun dalam beberapa kesempatan, saya melihat mereka sudah keluar rumah ketika sinar pagi belum muncul. Dari berangkat, mereka sudah mempersiapkan segala kebutuhan, antara lain makan pagi bahkan makan siang –lengkap dengan makanan ringan apa adanya.

Saya merasakan mereka menggunakan rumus yang sebenarnya sederhana. Mereka bertani, mengolah tanah, lalu menanam sesuatu disertai perawatan yang bagus, mereka optimis Pencipta akan memberikan rezeki kepadanya. Seolah bagi mereka tidak masalah besar atau kecil. Tugas mereka adalah berusaha, sedangkan level mendapatkan hasil, sudah di luar kekuasaan mereka. Walau di luar kuasa, ketika menanam sesuatu, mereka merasa yakin akan mendapatkan hasilnya.

Padahal rata-rata petani di sini tidak menggarap tanah sendiri. Lahan yang terbatas, menyebabkan tanah hanya dikuasai secara terbatas oleh mereka yang berkelas berada. Rata-rata para petani yang memiliki lahan sendiri pun, luasnya sangat terbatas. Jadi kebanyakan mereka berusaha di atas lahan orang lain, dengan jumlah bagi hasil ketika hasilnya sudah ada. Dan itu, kalau dihitung-hitung, rasanya tidak sebanding dengan usaha yang telah dilakukan mereka. Namun semangat mereka menggebu dan yakin bahwa dengan hasil yang optimal, sekaligus akan menambah jumlah yang akan diterima mereka.

Sebenarnya ini menjadi tantangan bagi siapa pun yang tidak memiliki lahan. Namun pelajaran dari petani di sini adalah bersungguh-sungguh dalam berusaha. Walau mungkin mereka bisa menduga hasil yang mereka dapat tidak besar, namun mereka tetap berusaha maksimal. Alasannya sederhana, bahwa ketika mereka berhasil mendapatkan hasil yang maksimal, maka hasil untuk mereka pun akan bertambah. Pada tataran ini, tidak penting bagi mereka bahwa mereka sudah berusaha menguntungkan lebih besar kepada pemiliknya.

Kenyataan terakhir ini juga terkait niat yang tulus. Mereka tahu bahwa keberadaan lahan turut menentukan hasil mereka. Di luar konteks diskursus bagaimana lahan dikuasa dan menguasai, namun semangat petani untuk mendapatkan hasil, harus menyadarkan kita tentang banyak strata lebih rendah di bawah kita. Jangan lupakan itu.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment