Bukan Hanya Renyah Berbuka

Kemarin saya sebut undangan berbuka. Saya memiliki pengalaman tidak menarik, dan pengalaman ini membuat saya agak susah datang pada undangan yang diadakan di tempat yang fasilitasnya tidak memadai. Biasanya warung makan dengan tempat duduk yang …

Kemarin saya sebut undangan berbuka. Saya memiliki pengalaman tidak menarik, dan pengalaman ini membuat saya agak susah datang pada undangan yang diadakan di tempat yang fasilitasnya tidak memadai. Biasanya warung makan dengan tempat duduk yang ratusan kursi jumlahnya, dengan deretan meja panjang yang banyak, namun giliran tempat untuk shalat, hanya menyediakan ruang kecil saja –yang mungkin hanya muat beberapa orang saja. Bisa dibayangkan berapa lama orang akan menunggu pada lokasi yang demikian. Sekiranya semua shalat, maka butuh waktu minimal lima menit untuk satu orang, dikalikan tidak lebih dari 10 orang, maka butuh waktu paling tidak enam hingga delapan kali lipat. Artinya, orang yang antre baru bisa menunaikan kewajibannya empat puluh menit kemudian. Waktu yang berada pada posisi akhir.

Hal yang sama di rumah tertentu yang mengundang buka puasa bersama, harus mempertimbangkan kondisi ini. Paling tidak, menghitung sekiranya rumah jauh dari masjid atau meunasah (mushalla). Tanpa perhitungan ini, maka yang menjadi korban adalah mereka yang berbuka puasa bersama tersebut.

Inilah yang pernah saya alami ketika berbuka puasa bersama di rumah makan ternama. Atas undangan seorang senior, kami lalu berbuka, namun betapa kagetnya ketika mau melaksanakan shalat, ternyata tempatnya tidak sebanding dengan jumlah pengunjung warung. Langkah yang kami ambil –beberapa orang waktu itu—adalah menggelar sajadah di pinggir rumah makan, di lapangan yang berumput. Setelah shalat, ketika melanjutkan makan, kami sempat menyarankan kepada pemilik warung tersebut untuk memperhatikan kondisi tersebut. Waktu itu, pemiliknya mengaku akan segera menindaklanjutinya. Beberapa kali saya melewati tempat tersebut, ternyata tempatnya masih sama seperti dulu, belum berubah.

Begitulah, fenomena, yang kerap terlihat. Wajah semacam ini bukan sesuatu yang asing. Tak semua orang peduli. Melihat sejumlah buka puasa bersama yang dilalui dengan meninggalkan kewajiban lainnya. Kenyataan ini tidak bisa dianggap remeh, karena sama-sama merupakan kewajiban. Orang yang bijak, akan menghadiri undangan buka puasa bersama, namun begitu selesai meneguk sedikit air akan memilih mencari tempat yang layak untuk menunaikan kewajiban lainnya. Dengan begitu, bisa menunaikan dua hal sekaligus, yakni menghadiri undangan, dan tidak terlambat menunaikan kewajiban shalat.

Momentum ini menjadikan kita seyogianya menjadi manusia yang semakin sempurna. Konteks kesempurnaan, tentu tak terbatas pada hubungan yang vertikal, melainkan juga turut serta dalam hubungan yang horizontal. Seharusnya memang ada hubungan antara keduanya. Seseorang yang menyelesaikan kewajiban vertikal, seharusnya berimbas kepada horizontal. Sayangnya dalam kenyataan, keduanya sering timpang. Ini perlu diluruskan.

Menyelaraskan keduanya pun butuh tata pikir. Kita harus senantiasa buat hitung-hitungan yang saya ungkap di atas. Hal yang paling prinsip dari hitung-hitungan ini, agar saat mengejar ibadah yang satu, bukan meninggalkan ibadah lainnya.

Leave a Comment