Rasa ingin tahu adalah sesuatu yang alamiah. Siapa pun memiliki rasa ingin tahu itu. Ada orang yang bisa memanajemeni rasa ingin tahunya. Caranya mengatur pada waktunya, semua yang ingin diketahui bisa ditelusuri. Tidak mungkin menelusuri dalam satu waktu. Apalagi hal yang ingin diketahui, sesungguhnya masalah-masalah sensitif.
Orang yang bisa mengatur kehendak ini dengan baik, akan mendapat segala rasa ingin tahu itu dengan baik, tanpa perlu membuat masalah lain. Rasa ingin tahu tercapai, kondisi dan keseimbangan juga terjaga. Begitulah kira-kira jika ingin ditamsilkan.
Anak juga demikian. Rasa ingin tahu anak malah bisa menggebu-gebu. Namun kondisi psikologis anak justru tidak bisa membedakan mana rasa ingin tahu yang baik dipenuhi dan mana yang tidak. Seolah semua rasa ingin tahu tidak masalah untuk dipenuhi semuanya. Di sanalah peran orang tua untuk menuntun dan memilah-milah. Kepada mereka harus diberi pengertian dan pemahaman bagaimana hal yang sesungguhnya.
Jangan memperlakukan anak tidak sebagaimana mestinya. Kadangkala perlakuan terhadap anak, baik oleh segelintir orang tua maupun oleh orang lainnya, sangat menyedihkan. Karena hal-hal yang sangat sepele, banyak anak yang sudah menerima sesuatu yang luar biasa. Bahkan yang ironis, orang tua sendiri yang mampu melakukan sesuatu yang di luar batas bagi anaknya.
Ada hal lain yang tidak kalah mengerikan, bahwa kecenderungan kekerasan –dalam kaitan ini terhadap anak—dilakukan oleh orang-orang dekat. Orang yang seharusnya memberikan perlindungan. Kenyataannya, banyak kasus bahwa orang yang seharusnya memberi perlindungan itu, melakukan sebaliknya. Pagar makan tanaman. Mengerasi anak –sekali lagi—hanya gara-gara soal sepele.
Sekiranya kehidupan anak yang terkait dengan orang tuanya, maka mungkinkah orang tua sedang sampai masa tidak mampu memahami dunia anak –bahkan anaknya sendiri? Orang tua sudah tidak mampu mengarahkan anak dan kehidupannya. Ketika orang tua tidak memahami anak, maka apapun yang ingin diarahkan bagi kehidupan anak, menjadi terkendala. Dalam bahasa sekarang, ada komunikasi yang terputus sehingga anak tidak tersampaikan hal yang diinginkan oleh orang tuanya. Ingatlah berbagai kehancuran anak, orang tua akan menanggung balasannya. Balasan baik atau balasan buruk, akan dirasakan orang tua sesuai dengan kontribusinya.
Untuk orang lain, perlakuan terhadap anak jauh tidak bisa ditolerir. Di satu pihak ada perlakuan tidak wajar yang mengintai anak. Di pihak lain, ketidakmampuan orang lain yang di luar orang tua, juga mungkin menjadi masalah.
Bagi orang tua atau bukan orang tua, bandel kerap dijadikan alasan. Namun kata ini sendiri juga kerap keliru dipahami. Banyak orang tua tidak bisa membedakan antara anak bandel dengan anak aktif –atau mungkin hiperaktif. Ada tipe anak yang karena besarnya rasa ingin tahun, banyak hal yang membuatnya tidak bisa diam, hingga hasrat ingin tahunya terpenuhi. Tak jarang orang tua yang tidak sabar akan memperlakukan sesuatu terhadap anaknya.
Terbayang dari karya Tetsuko Kurayanagi, Totto-chan, Seorang Gadis Cilik di Jendela. Ada seorang anak yang harus pindah sekolah berkali-kali karena banyak orang, termasuk gurunya menganggap gadis itu sebagai nakal. Padahal anak ini hanya memiliki rasa ingin tahu yang lebih besar dari anak lainnya. Banyak pertanyaan yang sambung-menyambung keluar dari mulutnya, untuk guru, sehingga guru tidak bisa mengajar dengan tenang.
Anak ini, akhirnya mendapat satu sekolah yang sesuai dengan jiwanya. Sekolah yang dibangun dari bangunan bekas kereta. Ia seperti mendapat rumah aslinya di sana.
Anggapan nakal atau tidak, terkait dengan bagaimana perilaku orang tua dalam meluruskannya. Orang tua tidak hanya bertugas untuk mendidik dan memanusiakan anaknya melalui berbagai perintah dan larangan, melainkan juga melalui panutan. Tidak semua orang tua mampu untuk memerankan semuanya sekaligus.
Bukankah pada akhirnya, kita harus mafhum, bahwa anak, ketika ia menjadi anak pada awalnya, seperti kertas putih yang terserah mau mengisi apa dan bagaimana melakukannya.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.