Ibadah Terbaik

Mereka yang menjadi pemimpin, selalu memungkinkan untuk dikoreksi. Mereka juga manusia, yang ketika mendapat amanah dan jabatan, berpeluang tergelincir atau salah langkah. Mereka bisa saja keliru dalam melakukan sesuatu. Itulah fungsinya orang-orang yang dipimpin. Mereka …

Mereka yang menjadi pemimpin, selalu memungkinkan untuk dikoreksi. Mereka juga manusia, yang ketika mendapat amanah dan jabatan, berpeluang tergelincir atau salah langkah. Mereka bisa saja keliru dalam melakukan sesuatu. Itulah fungsinya orang-orang yang dipimpin. Mereka tidak hanya menunggu perintah, melainkan juga mengoreksi sekiranya perintah keliru atau salah.

Orang yang memimpin juga harus memahami posisi ini. Secara substansi, pemimpin memahami posisinya sebagai manusia yang berpotensi salah dan alpa. Dengan kesadaran ini, maka tidak perlu marah ketika ada yang menegur untuk kebaikan. Tidak perlu berang ketika meluruskan langkah. Hanya orang-orang yang berpikir dirinya sangat sempurna, yang menutup pintu rapat-rapat orang lain untuk ditegur.

Ada hubungan kesalingan antara yang memimpin dan dipimpin. Mereka yang memimpin butuh yang dipimpin. Demikian juga sebaliknya. Dalam kesalingan itu, mengoreksi antara pemimpin dan yang dipimpin menjadi sesuatu yang niscaya. Bukan sesuatu yang menakutkan.

Hal demikian sangat disadari oleh mereka dalam ibadah shalat. Dalam shalat jamaah, posisi imam adalah pemberi komando. Berbagai gerak yang akan dilakukan dalam shalat, diberi komando oleh imam, bukan oleh yang lain. Dengan demikian, tidak boleh ada dua komando, karena dua komando dalam shalat akan berakibat jamaah kacau-balau. Bisa dibayangkan dalam satu shalat jamaah, ada dua pemberi komando, yang satu memberi komando yang satu, yang lain memberi komando yang lain. Makanya ketika ada dua imam, bukan shalat jamaah lagi namanya. Memang ada satu penyambung suara imam, untuk menyampaikan komando imam bagi jamaah di barisan belakang. Posisi penyambung suara ini sendiri juga menyampaikan komando imam.

Dengan fungsi dan tugas imam, maka tentu tak semua orang bisa menjadi imam. Ada syarat ilmu-teknis dan etis. Dari segi ilmu, seperti melakukan sesuatu yang lain, imam memahami apa yang akan dilakukan. Tidak boleh gamang. Ia harus menguasai betul mengenai shalat yang akan dilakukan beserta syarat dan rukunnya. Orang yang tidak bisa membedakan hal ini, maka bukan saja tidak boleh menjadi imam, maka ia sendiri harus belajar kembali mengenai mengapa ia harus shalat. Hal lain yang harus diperhatikan imam adalah soal etis. Seseorang yang menjadi imam, maka ia tidak saja harus menjaga tanduk dan sikapnya ketika shalat jamaah. Orang demikian, juga harus menjaga perilaku dan tidan-tanduknya ketika berada dalam masyarakat.

Dalam berpakaian, kita harus berusaha memakai yang terbaik. Pembayangan ini bisa dibandingkan bagaimana ketika kita menjumpai orang yang kita segani –atau bahkan kita takuti, kita tentu mempersiapkan dengan baik pakaian kita. Tentu saja ketika berhadapan dengan Pencipta, kita akan mempersiapkan melebihi dari demikian.

Sebagai jamaah, posisi imam sendiri bukan tidak bisa dikoreksi. Sebagai imam, ia berpotensi sewaktu-waktu bisa keliru atau lupa. Komando yang diberikan bisa tidak sesuai, karena sesuatu hal. Atas kondisi tersebut, jamaah memiliki hak untuk melakukan koreksi. Tentu saja koreksi yang dilakukan dengan cara tertentu, tidak boleh dilakukan secara sembarangan dan serampangan. Dalam hal ini, mengingatkan imam pun ada ilmu tentang kode, jadi shalat akan berlangsung sebagaimana yang disyaratkan apabila jamaah melakukan koreksi dengan kode yang ditentukan. Ketika menggunakan kode yang tidak dibolehkan, maka posisi shalat akan rusak.

Ibadah shalat dapat menjadi contoh bagaimana seharusnya pemimpin melakukan tugasnya. Keberadaan pemimpin tetap satu. Tidak boleh ada dua pemimpin, sebagaimana tidak boleh ada dua imam dalam satu shalat. Maka ketika ada organisasi apapun yang diperintahkan oleh dua orang yang mengaku dirinya sebagai pemimpin, maka organisasi akan hancur. Tidak ada organisasi bisa berdiri kokoh dengan dua pihak yang mengklaim sebagai ketua yang sah. Apalagi ketika ada organisasi yang mana orang di dalamnya saling berebut untuk mendapatkan posisi ketua. Seyogianya orang yang diberikan amanah, adalah mereka yang dipercayakan dengan penuh kesadaran. Orang yang memberikan amanah dengan mereka yang menerima amanah, sama-sama sadar akan kekuasaan yang akan dijalankan.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment