Hanyut dalam Mimpi

Dengan berbagai kemajuan yang dirasakan, kita seringkali tidak mampu membedakan yang mana yang mimpi dan yang mana yang nyata. Seolah perbedaan antara kebutuhan dan keinginan itu tipis sekali. Bahkan untuk merasakan kenikmatan dan penderitaan, seolah …

Dengan berbagai kemajuan yang dirasakan, kita seringkali tidak mampu membedakan yang mana yang mimpi dan yang mana yang nyata. Seolah perbedaan antara kebutuhan dan keinginan itu tipis sekali. Bahkan untuk merasakan kenikmatan dan penderitaan, seolah tidak mampu terasa bedanya.

Banyak di antara kita yang lebih merasa mementingkan untuk memenuhi keinginan dibandingkan dengan kebutuhan. Berbagai upaya ditempuh hanya untuk memuaskan keinginan, dan ironis sekali, dengan melupakan kebutuhan. Bahkan dengan modal yang tidak sedikit, padahal bisa jadi kebutuhan primer belum terpenuhi.

Akhirnya apa yang kita rasakan, seperti terhanyut dalam mimpi. Kita sedang merasakan berbagai penderitaan dan persoalan dalam hidup, namun dengan berbagai ilusi, bagi kita seolah menikmati sesuatu yang luar biasa indahnya. Ada dunia seolah-olah yang hadir lewat berbagai proses yang tidak sederhana. Semua orang sebenarnya dapat menangkap apa yang terjadi, walau mungkin belum tentu mampu untuk menolaknya.

Ingatan inilah yang mengingatkan saya pada satu pertanyaan penting dari seorang teman. Apakah posisi negara kita sedang berada dalam cengkeraman kapitalisme? Pertanyaan ini, bagi saya menyentak, sekaligus seperti main-main. Banyak orang yang mengaku tidak bisa menghidarkan diri dengan kapitalis dan kapitalisme. Menyentak, karena bagi sebagian orang ia sudah menjadi satu hal yang menyatu dengan kehidupan kita. Main-main, karena ternyata masih ada orang yang mempertanyakan padahal kita sendiri semua tahu sedang berada pada suasana demikian. Namun pertanyaan demikian dapat dimana ketika banyak orang yang tidak menyadari kita sedang berada dalam suasana tersebut. Saya bisa memahami bila alasan pertanyaan terkait dengan kondisi terakhir saya sebut.

Sejumlah orang merasa kita tidak sedang berada dalam ideologi apa-apa. Apa yang kita alami pada dasarnya sesuatu yang alamiah. Sehingga ada kesimpulan, tidak ada ideologi apapun atas ideologi yang lain. Jawaban semacam ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, orang yang sudah tidak mau tahu dengan keadaan dirinya. Ia seolah menutup mata terhadap berbagai perkembangan penjajahan di atas bumi ini. Gerakan modal dan produk tidak dilihat sebagai gelombang raksasa yang saling berebut pengaruh dan kekuatan. Kedua, mereka yang secara aktif menjadi bagian dari kekuatan semacam itu. Disadari atau tidak, banyak orang terlibat dalam kekuatan penting gelombang besar tersebut. Nah, mereka yang sudah nyaman di dalamnya –saya tidak mau terlibat dalam hal alasan mengapa seseorang nyaman—tidak lagi melihat ada kenyataan sebagaimana yang disebutkan.

Begitulah, bagi saya pertanyaan semacam di atas menjadi penting ditanyakan. Penting juga memberi manfaat dalam hal menyadarkan mereka yang belum sadar ada ideologi yang menjajah. Ada perilaku yang dari hari ke hari makin menggurita membentuk gelombang besar namun bukan untuk membagi kesejahteraan, melainkan hanya ingin membuat kekuatan tertentu makin menggelembung modalnya. Ada kekuatan yang saling berebut untuk menumpuk semakin besar kekuatan modal.

Dalam dunia yang lebih luas, penguasaan modal –melalui berbagai cara termasuk cara-cara yang menjajah—sangat penting dalam hal kuasa-menguasai. Zaman ini masih ada kondisi kekuatan tertentu menguasai kekuatan yang lain. Kita bisa jadi hanya melihat melalui fenomena terbatas. Secara mendalam, kekuatan yang merebut pengaruh itu juga melakukan penjajahan secara halus. Kenyataan terakhir inilah yang tidak diketahui –atau pura-pura tidak diketahui—oleh kita semua. Kita sedang tersadar sedang berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Malah –termasuk kita yang kita klaim sendiri sebagai orang-orang yang sedikit pandai—justru larut dalam kondisi yang tidak menguntungkan itu. Yang lebih parah adalah, ternyata ada sebagian kita ternyata sangat menikmati kondisi yang sama sekali tidak menguntungkan tersebut. Lantas apakah kita masih bertanya, pada posisi yang demikian, bahwa kita akan memilih untuk menerima dengan menikmatinya.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment