Keluhan

Tanpa kita sadari, kehidupan yang kita lalu penuh dengan cobaan. Ada yang terasa, karena begitu berat, namun tidak sedikit yang berlangsung begitu saja dan bisa dihadapi sedemikian rupa. Konteksnya beratnya cobaan juga sesungguhnya terukur. Bukankah …

Tanpa kita sadari, kehidupan yang kita lalu penuh dengan cobaan. Ada yang terasa, karena begitu berat, namun tidak sedikit yang berlangsung begitu saja dan bisa dihadapi sedemikian rupa. Konteksnya beratnya cobaan juga sesungguhnya terukur. Bukankah manusia tidak mungkin diuji yang tidak mampu manusia menerimanya?

Cobaan juga ada yang sederhana, pun tidak sedikit yang rumit. Untuk cobaan yang sederhana, sering dengan mudah dilupakan. Sedangkan untuk cobaan yang rumit, mungkin akan teringat bertahun-tahun. Biasanya juga, setiap cobaan selalu pula diiringi hikmah, yang tidak semua orang mampu merasakan dan memetiknya yang sudah terhidang sekalipun.

Begitulah suatu kali, teman saya, ketika berangkat ke daerah lain, naik pesawat yang sedikit murah. Ia berharap dengan naik pesawat kelas demikian, tidak terlalu banyak mengeluarkan uang. Dengan fasilitas yang bisa dihemat, ia berharap tidak memberatkan semua pihak. Pada waktu itu, ia justru mengalami hal yang sebaliknya. Mengeluarkan lebih banyak karena pesawat yang ia naiki ternyata terlambat berkali-kali.

Pengalaman semacam ini juga pernah saya alami berkali-kali. Naik satu penerbangan yang terkenal dengan keterlambatannya. Setiap naik pesawat ini, yang harus dipersiapkan mental adalah kemungkinan terlambatnya. Sehingga malah ada istilah, jika tidak ada terlambat, justru menjadi aneh bagi penerbangan ini. Ketika dari naik pertama, sudah terlambat 30 menit. Karena penerbangan saya harus tiga kali naik-turun, maka pada penerbangan kedua, juga dengan pesawat ini, terlambat menjadi lebih satu jam. Setelah itu, ketika pada penerbangan ketiga, justru sangat tepat. Dengan adanya pergantian terminal, dan adanya keterlambatan keterlambatan sebelumnya, membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Pergantian terminal, dari terminal satu ke tiga, butuh waktu hampir satu jam. Setiap tempat harus melapor, datang ke meja mereka yang jauh ke dalam, sementara untuk ganti terminal, transpor tetap harus keluar lagi. Setidaknya dua kali demikian. Tentu saja ini membutuhkan waktu. Belum lagi untuk melapor, itu juga harus antre, padahal hanya dicek dalam list. Hal yang sama dilakukan berulang-ulang dan ini, seperti tidak ada arti.

Ketika sampai di terminal tiga, saya harus menunaikan shalat, dan saya lakukan di luar ruang tunggu. Padahal di dalam ruang tunggu juga ada mushalla. Kondisi ini membuat saya tidak mendengar adanya panggilan. Ketika saya melapor ke meja, pintu pesawat sudah ditutup. Saya komplain, ternyata luar biasanya mereka, jadwal penerbangan dari tempat saya naik pertama dan kedua, tetap menghitung dari jam yang tertera pada tiket, bukan pada realitas yang sudah terlambat hampir dua jam. Dengan menghitung jam yang tertera, maka tidak bisa pesawat disalahkan.

Ketika naik dalam pesawat, saya sudah beberapa kali disambut dengan kata-kata petugas: mohon maaf, karena alasan operasional, Anda mengalami keterlambatan dengan pesawat ini. Tetapi giliran tepat waktu, saya dulu pernah mengalami ketepatan waktu demikian, akan dikatakan sebaliknya: terima kasih Anda telah memungkinkan kami selalu untuk tepat waktu. Bukankah luar biasa kata-kata yang disebutkan itu.

Begitulah, akhirnya tidak ada komplain apapun. Setelah saya cek, harga tiket dalam masa dua atau tiga jam sebelum terbang, berkemungkinan selalu tidak normal, akhirnya saya memilih naik kereta. Dari terminal ke stasiun kereta butuh waktu satu jam. Lalu sampai di sana, saya mendapatkan dua tiket yang masih ada. Saya memilih yang jam 9.30 malam.

Ketika di dalam kereta, ada hal lain lagi. Ada sekeluarga muda, empat anak, dengan dua masih kecil-kecil. Kesukaan anak ini sebenarnya sederhana, ia ingin jalan di lorong-lorong kereta. Sesuatu yang wajar. Namun dihalangi sama ayahnya, mungkin karena ia malas menemani. Akhirnya yang disuruh menemani, anaknya yang lain yang masih kecil. Tentu anak sekecil itu, tidak siap menemani adiknya dengan berbagai suasana. Akhirnya keduanya dibawa paksa ayahnya duduk. Anaknya yang kecil, menangis dari pertama naik kereta, hingga tengah malam. Suasana demikian sungguh tidak enak. Mendengar tangisan seorang anak yang menimbulkan tanda tanya jangan-jangan ada perlakuan tertentu dari orang tuanya. Mudah-mudahan tidak demikian.

Suasana tidak enak itu, sama tidak enaknya ketika mendengar keluhan penumpang pesawat yang tidak dianggap sebagai tamu dari pesawatnya.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment