Banyak orang di sekeliling yang kita yang tidak siap ketika hilang jabatan. Pergantian kekuasaan selalu diiringi dengan mudah dikenalnya mentalitas pekerja dan penjilat. Mereka yang bekerja akan menerima apapun telaah mereka yang memegang kuasa. Mereka sadar betul bahwa apapun yang dilakukan selalu berada dalam keterbatasan. Sebaliknya, pihak yang satu lagi, ketika kekuasaan berganti, maka tiada henti menunggu di pintu rumah penguasa yang baru. Tiada henti menebar kebaikan penguasa, lalu dengan mudah menjelekkan ketika apa yang diharapkan tidak tercapai.
Jabatan itu ibarat kue yang tidak saja ditunggui, melainkan dikejar-kejar oleh mereka yang mendambakannya. Ada yang rela melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan bagian kue kuasa itu. Bahkan dengan menggadai saraf malu sekalipun.
Kuasa selalu diiringi dengan berbagai fasilitas. Barangkali hal ini yang membuat banyak tertarik memperolehnya. Ada yang jinjing tas dan selalu siap siaga ada yang membuka dan menutup pintu kendaraan. Pada posisi demikian, oleh mereka yang mau, bahkan bisa membuat rasa sebagai manusia memudar. Perintah tanpa perasaan. Semua kondisi bisa ditanda ketika seseorang sudah tidak memiliki kuasa. Semuanya berubah drastis.
Ada dua pertanyaan yang seharusnya selalu mengiringi kita. Pertama, apakah kita selalu sadar bahwa hidup yang kita jalani tidak selalu berjalan lurus. Orang yang kata tidak selalu berada dalam kondisi kestabilan. Orang yang memiliki jabatan, tidak selalu berada dalam jabatan. Harus memikirkan bahwa semua yang kita punya, uang, jabatan, harta, semuanya adalah titipan Pencipta. Dengan logika ini, maka harta dan apapun yang kita punya itu, suatu saat akan diambil kembali. Tidak ada pemberitahuan ketika yang kita punya akan diambil atau malah ditambah.
Kedua, apakah kita juga berpikir bahwa seiring dengan hidup tersebut, kita selalu mendapat ujian dalam menjalani hidup. Apakah kita akan marah ketika harta atau apa yang kita punya akan habis dan diambil kembali. Jabatan yang diakui akan kesementaraan, namun ketika diambil dari pegangan kita, apakah kita akan menerima saja apa adanya? Jangan-jangan tidak demikian. Ketika jabatan diambil, kita menjadi marah. Ketika jabatan masih ada di tangan, kita malah berbuat dan berucap secara berlebihan. Untuk mereka yang memberi jabatan kepada kita, disanjung setinggi langit. Namun ketika jabatan diambil kembali, kita juga marah dengan dada yang berapi-api.
Ketika terjadi bencana, sejauhmana kita bisa menerima apapun yang menimpa kita? Ada orang yang tiba-tiba tidak memiliki apa-apa lagi. Sebaliknya, ada orang yang setelah bencana, justru kaya berlipat-lipat. Apakah perasaan mereka akan sama? Tentu tidak selalu. Mereka yang berkekayaan tiba-tiba, berbeda penerimaan dengan mereka yang harta dan mungkin nyawa orang-orang tersayang tiba-tiba diambil kembali. Ada orang tertentu yang siap, dengan kesiapannya juga dalam menghadapi berbagai tahapan dalam hidupnya.
Banyak orang mengerti dan memahami kondisi demikian. Sekiranya kita mendengar apa yang disampaikan, banyak orang yang mengakui tegas bahwa segala sesuatu yang ada pada diri mereka hanya kebetulan. Hanya sedikit orang yang super angkuh tidak mengakunya –dan menganggap bahwa harta yang didapatkan murni karena usahanya.
Terlepas bagaimana pendapat orang tentang titipan itu, realitas yang kemudian dibolak-balik. Mengakui jabatan sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan, tak hanya kepada pemberi jabatan melainkan kepada Pencipta, namun ketika jabatan diambil tiba-tiba, rasa marahnya akan muncul dan seperti bara api. Ada sesuatu yang disampaikan disembunyikan pada suatu waktu, dan akan dikemukakan pada waktu yang lain. Dengan demikian apa yang disampaikan, tidak selalu sebagai suatu hal yang sebenarnya dari lubuk hati.
Kesadaran akan hidup ini kadang-kadang di bawah, kadang-kadang di atas, tidak diterima hingga ke lubuk hati. Ia akan berubah ketika ada sesuatu yang menimpa dalam kehidupannya. Inilah simulacra hidup, yang orang berpenampilan seperti mengungkapkan kesadaran sebenarnya. Namun kesadaran yang diyakini itu, dipengaruhi oleh seberapa besar sesuatu itu berpihak pada yang bersangkutan.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.