Lupa dan Derita

Setiap kelas menulis, biasanya ada tugas kecil yang saya minta dikerjakan diawal. Setiap peserta menonton apapun, visual, baik film, berita, tayangan flora, fauna, dan apapun yang bisa dijelaskan pada kesempatan yang lain. Lalu untuk setiap …

Setiap kelas menulis, biasanya ada tugas kecil yang saya minta dikerjakan diawal. Setiap peserta menonton apapun, visual, baik film, berita, tayangan flora, fauna, dan apapun yang bisa dijelaskan pada kesempatan yang lain. Lalu untuk setiap tontonan, saya minta mereka menulis dalam sepotong waktu. Misalnya tayangan flora durasi yang ditonton bisa jadi 30 menit, namun untuk laporan bisa saja yang dilaporkan hanya lima menit saja.

Pelajaran yang penting dari setiap sesi ini adalah pemahaman betapa dalam menjelaskan sesuatu, tidak bertumpu pada masing-masing hal saja. Untuk mengulas tentang flora yang ditonton, tidak cukup hanya dengan memahami apa yang terjadi dalam dunia binatang saja –berdasarkan apa yang ditonton—melainkan juga tentang bagaimana mereka akan menulis dengan baik

Problemnya ada pada titik kedua –menulis dengan baik apa yang ditonton. Kerja inilah yang tidak mampu diselesaikan dengan baik oleh semua semua peserta.

Seorang yang akan menulis, selalu harus menyadari dua hal yang saling terkait, bahwa menulis tidak hanya terbatas urusan substansi (apa yang mau ditulis), melainkan juga pada soal bagaimana tulis-menulis itu dilakukan (bagaimana mau ditulis). Keduanya berbeda dan saling dibutuhkan. Satu sama lain terkait erat. Seseorang yang hanya urus substansi, tidak akan jadi apa-apa jika tidak mau terlibat dalam urusan teknis bagaimana sesuatu itu ditulis.

Kedua hal di atas, secara langsung atau tidak, mustahil dipisahkan dari kondisi seseorang dengan karyanya. Ada dua pendapat berbeda. Kubu pertama beranggapan bahwa setiap tulisan atau karya, selalu lahir dari kondisi fisik dan jiwa penulisnya. Artinya bagaimana kondisi penulis akan menentukan karya yang dihasilkan. Kubu lainnya, beranggapan bahwa orang bisa membatasi diri dari karyanya. Tidak ada urusan bagaimana jiwa seseorang pada saat ia menulis, yang jelas semuanya bisa dihasilkan terlepas dari kondisi jiwa dan fisik penulis.

Saya cenderung pada kubu pertama. Saya ikut apa yang pernah diungkapkan Imam Ghazali, bahwa kondisi fisik seseorang selalu berhubungan dengan mental. Raga selalu berelasi dengan jiwa. Makanya seseorang yang secara fisik sehat, namun terganggu dengan berbagai pikiran, yang bersangkutan tidak bisa berbuat apa-apa. Banyak orang yang stamina kuat, namun jiwanya diganggu oleh urusan remeh-temeh, membuat yang bersangkutan akan terganggu.

Fisik tidak lelah jika didukung oleh jiwa yang bergelora semangat tinggi. Seperti syair perang yang digunakan sebagai semangat mereka yang berperang, sebagaimana dalam sejarah-sejarah perang. Ketika jiwa yang menggelorakan semangat ini, tidak terasa apapun selain menghasilkan sesuatu yang dibayangkan dari semangatnya itu.

Leave a Comment