Kasih Kisah, Kisah Kasih

Saya pernah mengalami satu hal yang boleh dibilang lucu. Selama ini, kopi saya selalu pahit. Saya sudah jarang memakai gula. Bagi orang yang suka kopi seperti saya, kopi pahit itu selalu menyisakan kenikmatan tersendiri. Pahit …

Saya pernah mengalami satu hal yang boleh dibilang lucu. Selama ini, kopi saya selalu pahit. Saya sudah jarang memakai gula. Bagi orang yang suka kopi seperti saya, kopi pahit itu selalu menyisakan kenikmatan tersendiri. Pahit kopi biasanya pahit yang gurih. Pahit yang mungkin tidak semua orang mampu merasakan apalagi memahami kenikmatannya.

Kisahnya begini. Saya duduk di meja paling depan, menghadap jalan, di sebuah warung kopi. Di belakang saya, dua orang pemuda, yang usianya mungkin tidak jauh berbeda dengan usia saya. Dari bicara mereka yang saya tangkap, sepertinya yang satu sudah berkeluarga, yang lain belum.

Salah seorang diantara mereka mulai dengan satu pertanyaan menarik. Apakah ia pernah mengenal dekat seorang perempuan? Temannya menjawab ya. Apa yang pernah dialami dari seorang teman perempuan yang sudah dekat itu? Temannya menjawab dengan santai, bahwa pernah dibohongi berkali-kali. Bahkan ia menegaskan lagi jawabannya: benar saya pernah dibohongi berkali-kali. Apakah ia tahu dibohongi, tanya laki-laki itu. Temannya menjawab, sangat mengetahui. Bahkan ia tahu persis kapan dan dimana sesuatu yang dibohongi itu.

Apakah perempuan itu sudah berkeluarga. Laki-laki itu juga menjawab ya. Sayangnya saya tidak melihat bagaimana raut wajah ketika ia menjawab ya tersebut. Dengan membelakangi meja mereka yang sangat dekat di belakang saya. Sambil menikmati kopi, saya menguping sesuatu yang sesungguhnya tidak boleh saya dengar.

Teman itu menanyakan hal yang lain. Apa yang ia rasakan saat ia dihohongi? Jawabannya yang membuat saya tertawa dalam hati –sekaligus miris—saat ia menjawab sangat bahagia bila teman yang membohonginya menganggap ia lugu. Baginya, ketika teman mengganggap lugu karena bisa dibohongi dan seolah tidak diketahuinya, membuat laki-laki ini merasakan bahagia. Bukankah lucu?

Berkali-kali temannya bilang kangen. Laki-laki di belakang saya pun memahami bahwa ungkapan itu sesungguhnya teman perempuannya sedang butuh sesuatu. Berkali-kali pula, laki-laki ini menyanggupi apa yang dibutuhkan itu, walau ia tahu sedang dibohongi. Cara ia dibohongi, sepertinya dinikmati laki-laki ini dengan sempurna.

Selain kangen, teman perempuannya itu selalu menyebut kata benci untuk orang-orang spesialnya, tentu di depan laki-laki itu. Padahal itu temannya yang baik, yang menemaninya dalam urusan apapun –tentu saja perempuan itu menganggap laki-laki itu tidak tahu. Bahkan tidak jarang, apa yang diberikan laki-laki ini, oleh teman perempuannya digunakan untuk membantu orang spesialnya.

Saya tidak tahu persis bagaimana kelanjutan kisah mereka, karena ada janji sebelum jam delapan, saya harus pergi dari warung kopi. Namun begitu saya bangun, salah satu dari laki-laki ini rupanya menyapa saya. Ternyata ia kenal saya dari satu kelas menulis. Ia minta waktu lima menit menanyakan dari mana ia menulis. Saya mohon maaf padanya karena menguping sejumlah hal yang mereka bicarakan –saya rasakan raut wajah mereka sedikit tidak enak.

Saya katakan, apa yang diceritakan oleh temannya itu, bagi saya bisa jadi kisah menarik, mungkin bisa dibuat novel berjilid-jilid. Namun saya ingatkan dia, agar tidak menulis tentang keburukan. Tulislah tentang kebahagiaan seseorang, walau kebahagiaan seseorang itu kadangkala sering diperoleh dengan menyakiti orang lain.

Saya sarankan dengan ikhlas, agar ia tidak memiliki cara memperoleh bahagia yang kedua itu. Bagi saya, sepahit apapun cerita seorang manusia, menulislah untuk mengambil hikmah dari kebaikannya. Seburuk apapun kisahnya, ungkapkanlah hikmahnya, agar ia menjadi pelajaran bagi orang-orang yang membutuhkan kebaikannya.

Tentu ini pilihan yang sangat sulit, walau bukan berarti tidak bisa dilakukan. Ingatlah saya sedang memberi inspirasi untuk menulis fiksi, yang berangkat dari kisah buruk untuk mendapatkan hikmah yang baik.

Leave a Comment