Kelas-kelas

Semester ini, belum terisi kelas menulis. Waktu harus diundur beberapa minggu, karena agenda bersama lainnya yang harus dikejar. Aktivitas yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Untuk kelas semester ini, direncanakan para guru, diutamakan guru sekolah dasar, …

Semester ini, belum terisi kelas menulis. Waktu harus diundur beberapa minggu, karena agenda bersama lainnya yang harus dikejar. Aktivitas yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

Untuk kelas semester ini, direncanakan para guru, diutamakan guru sekolah dasar, dengan target menghasilkan satu buku masing-masing. Buku yang direncanakan bertemakan tokoh atau sejarah lokal. Mengapa sekolah dasar? Mereka termasuk orang yang akan membahani anak-anak usia dasar.

Merencanakan adanya output, luaran, hasil nyata, buah dari kelas menulis, selalu dilakukan setiap ada kelas. Sayangnya tidak semua terealisir. Ada peserta kelas menulis, yang barang kali tidak terlalu peduli dengan target apa yang harusnya ada. Sebagian mereka, saat sudah selesai kelas, maka yang lainnya pun selesai begitu saja.

Semua kelas menulis, kami berdiskusi hal yang sama. Dalam 12 kali pertemuan. Atas dasar itulah, peserta yang sudah pernah ikut, tidak diizinkan mengikuti kelas berikutnya. Dengan begitu, juga memberikan kesempatan kepada orang lain untuk ikut. Mengingat dalam satu kelas hanya 10 orang saja. Dan ini berlangsung dari satu semester ke semester berikutnya.

Suatu kali saya mengisi kelas menulis di tempat belajarnya orang ilmu menulis. Di ruang itu mereka mendapatkan semua hal tentang seluk-beluk menulis, tentu saja dalam teori. Seorang senior yang saya kenal, saat memberi pengantar, mengilustrasikan begini: Anda sekalian mahasiswa saya, apakah Anda tidak malu hari ini diajarkan bagaimana cara menulis oleh mereka yang tidak berbasis ilmu menulis seperti kita? Saat itu ruang riuh, sebagian ketawa lebar.

Saya tahu ia sedang memancing mahasiswanya. Saat kesempatan diberikan, saya sampaikan di ruang tersebut, bahwa menulis itu tidak terbatas pada teori atau substansi. Menulis juga soal praktik dan teknis. Orang yang terlalu lama berteori, bisa jadi akan selalu berjarak dengan praktik, karena dalam melakukannya selalu dibatasi oleh berbagai batasan yang pernah mereka pelajari.

Urusan menulis harus terjun langsung. Orang yang belajar menulis, tetapi tidak berusaha mulai menulis, maka ia bisa disebut bukan mau belajar menulis. Begitulah bahasanya jika ingin disederhanakan. Bukan berarti ilmu atau teori tidak penting, namun jika dari awal sudah dibatasi sedemikian rupa, seorang penulis tidak bisa bergerak kemana-mana.

Guru menulis saya, menyebut kondisi ini seperti orang yang berenang. Anda tahu anak-anak kampung yang hidup di samping sungai? Mereka tidak paham teori. Mereka hanya tahu bagaimana berpraktik. Mereka tahu apa yang mesti dilakukan jika berenang dalam air besar, atau kecil.

Leave a Comment