Mencatat UUPA

Saya sudah menulis sejumlah catatan, baik dalam bentuk opini, maupun untuk kepentingan kolom harian, terkait isu Undang-Undang Nomor 1 Tahun Pemerintahan Aceh (untuk seterusnya, saya akan menyebut undang-undang ini dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh), termasuk agenda …

Saya sudah menulis sejumlah catatan, baik dalam bentuk opini, maupun untuk kepentingan kolom harian, terkait isu Undang-Undang Nomor 1 Tahun Pemerintahan Aceh (untuk seterusnya, saya akan menyebut undang-undang ini dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh), termasuk agenda dan rencana perubahannya. Tidak saja dalam kolom, melainkan juga mempersiapkan sejumlah agenda.

Tahun 2014, sebuah opini saya siapkan dengan judul “Sewindu UUPA” (Serambi Indonesia, 12 Agustus 2014). Saya mengingatkan semua pihak, agar tidak melupakan undang-undang sebagai dasar yuridis penyelesaikan konflik di Aceh. Hal ini penting dilakukan mengingat mulai kendur pengaruhnya dalam kehidupan sosial-politik. Aceh menghadapi sejumlah isu penting dalam ketatanegaraan. Pada ruang mikro, konsistensi untuk menjadikan Undang-Undang Pemerintahan Aceh sebagai kekuatan utama, sudah mulai mengendur.

Tahun 2015, melalui opini dengan judul “Undang-Undang sebagai Alat”, saya memperingatkan betapa pentingnya posisi undang-undang ini, tidak hanya bagi Aceh, melainkan juga bagi republik. Undang-Undang Pemerintahan Aceh digunakan –dan tentu saja atas kesadaran semua pihak—untuk menyelesaikan masalah penting dan genting: konflik yang telah menahun. Atas dasar itulah, mengawal undang-undang ini sangat penting agar berjalan maksimal sebagaimana yang direncanakan.

Tahun 2020, setelah acara kunjungan sejumlah tokoh Aceh untuk menjumpai Presiden Joko Widodo, 13 Februari 2020, saya menulis opini dengan judul “Pertaruhan UUPA” (Serambi Indonesia, 27 Februari 2020). Ada dua hal yang disampaikan, saat itu. Pertama, soal isi MoU Helsinki untuk diimplementasi-kan yang masih tersisa. Kedua, soal perlunya sesudah 15 tahun agar undang-undang dilakukan perbaikan. Tapi dengan kondisi kekuatan politik Aceh di Jakarta, maka rencana perubahan harus disiapkan dengan baik.

Tahun 2021, saya menulis opini “Masih Pentingkah UUPA?” (Serambi Indonesia, 18 Agustus 2021). Melalui opini ini, saya mengingatkan para pengambil kebijakan lokal agar segera memikirkan apa yang akan dilakukan saat dana otonomi khusus Aceh berakhir. Memang ia tidak seperti jatuh dari langit, karena alokasi dana otonomi khusus untuk Aceh sudah terlebih dahulu ditegaskan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Maka saat tenggat itu sudah dekat, harus segera dipikirkan jalan perbaikan undang-undang tersebut. Sayangnya, persiapan untuk itu tidak dilakukan dengan baik, sebagaimana yang Papua sudah mendahului. Tahun 2021, ditetapkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Pada tahun 2008, ditetapkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang.

Selain opini, secara khusus kami menyiapkan agenda ilmiah di kampus untuk membicarakan perkembangan dan berbagai hal yang terkait Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Saat usia 10 dan 15 tahun, secara khusus dipersiapkan kegiatan khusus dalam rangka memperoleh jawaban apa yang harus dilakukan dari sejumlah masalah yang belum terselesaikan. Pertama, Seminar Nasional Pelaksanaan UUPA, tahun 2015. Kedua, Simposium Nasional Otonomi Khusus, akhir Desember 2018.

Leave a Comment