Dana Otonomi

Saya sudah menulis sejumlah catatan, baik dalam bentuk opini, maupun untuk kepentingan kolom harian, terkait isu Undang-Undang Nomor 1 Tahun Pemerintahan Aceh (untuk seterusnya, saya akan menyebut undang-undang ini dengan UUPA), termasuk agenda dan rencana …

Saya sudah menulis sejumlah catatan, baik dalam bentuk opini, maupun untuk kepentingan kolom harian, terkait isu Undang-Undang Nomor 1 Tahun Pemerintahan Aceh (untuk seterusnya, saya akan menyebut undang-undang ini dengan UUPA), termasuk agenda dan rencana perubahannya. Tidak saja dalam kolom, melainkan juga mempersiapkan sejumlah agenda ilmiah membahas perkembangannya.

Titik isu ini, sesungguhnya dari Pasal 183 UUPA, yang menegaskan dana otonomi khusus dan jangka waktunya. Dana otonomi merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang dituju-kan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Dana otonomi khusus berlaku untuk jangka waktu 20 tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun ke-15, besarnya setara dengan 2% plafon Dana Alokasi Umum Nasional. Untuk tahun ke-16 hingga tahun ke-20, besarnya setara dengan 1% plafon Dana Alokasi Umum Nasional.

Posisi dana ini akan berakhir pada tahun 2027. Sisa kurang dari tiga tahun. Tentu saja, jika ingin posisi tersebut diubah, harus mulai dari aturan main, maka perubahan undang-undang menjadi jalan untuk itu. Dengan sisa tiga tahun, sungguh waktu yang riskan untuk mengejar perubahan tersebut. Atas dasar itu, strategi dibutuhkan, baik terkait substansi maupun proses.

Pertanyaannya apakah para elite memahami keadaan ini? Rasanya tidak mungkin tidak memahami. Lalu, mengapa belum bergerak maksimal menghadapi tahun 2027 yang akan segera berakhir? Jika mengikuti logika proses, seharusnya tahun 2024 ini sudah bergerak total. Tahun 2025, harus sudah ada posisi kongkret posisi dalam program legislasi nasional. Paling lambat, akhir 2026, idealnya sudah tuntas agar kebutuhan 2028 bisa ditentukan dengan baik.

Saya tidak yakin para pihak tidak memahami keadaan ini. Lalu ada apa, sepertinya sekarang dalam keadaan biasa-biasa saja? Apakah ada kelemahan pihak Aceh dalam bernegosiasi dengan pihak pembentuk undang-undang? Entahlah. Jelasnya, semuanya harus dipikirkan dengan baik.

Semua hal yang saya sampaikan di atas, barang kali bisa menjadi catatan bagi kita untuk memberi perhatian yang lebih maksimal dalam rangka mempersiapkan perubahan Undang-Undang Pemerintahan Aceh secara lebih serius.

Leave a Comment