Ketika berbicara konflik –khususnya konflik vertikal, dari titik mana perhitungan dimulai? Benarkah kita bisa langsung ambil dari pemberontakan DI/TII? Jawaban ini mesti diberikan secara hati-hati.
Pada penjelasan sebelumnya, sudah ditegaskan bagaimana pemberontakan DI/TII dalam konteks Aceh muncul ke permuka-an. Ada kerelaan dan keikhlasan yang tidak dihargai. Kerelaan untuk bergabung dengan republik. Bahkan saat agresi Belanda, penguasa Aceh menolak melakukan pemisahan diri bersama Sumatra Timur. Kaum republiken Aceh tetap bersikukuh berada di bawah panji republik. Tapi apa yang terjadi kemudian? Aceh dianggap tidak penting. Aceh sebagai provinsi tersendiri dilucuti dan ruang untuk melaksanakan kekhususan, juga tidak dihambat dengan tidak mendapat tempat dengan baik.
Dalam Laporan KKR Aceh, Peulara Damee, Merawat Perdamaian, pemberontakan DI/TII ini juga dijadikan sebagai pemberontakan awal –hal ini yang kemudian menjadi konflik vertikal Aceh-Jakarta. Buku ini menyebut proklamir Teungku Daud Beureueh dilakukan 21 September 1953 (KKR, 2023).
Pemberontakan ini lambat laun diikuti dengan pengiriman militer ke Aceh. Dalam proses menjaga integrasi inilah, dampak juga muncul. Ada warga sipil yang ditangkap militer. Jumlahnya mencapai 4.046 (KKR, 2023). Pada gejolak tersebut, perlawanan bersenjata juga muncul dan dilakukan, barangkali ini menjadi alasan penangkapan –termasuk penangkapan warga sipil.
Menariknya, secara internal, debat tentang bagaimana cara menangani konflik juga muncul. Pihak yang berusaha dengan kebijakan keras, menawarkan solusi militer. Tidak sedikit yang menawarkan kebijakan sebaliknya. Kebijakan dialog. Pola ini berhasil menghentikan konflik dengan satu even penting dalam masyarakat Aceh pada masa lalu: dengan even Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh. Teungku Muhammad Daud Beureueh dan pasukannya turun pada 9 Mei 1962. Praktis hal ini menjadi momentum damai mengakhiri konflik vertikal pada masa itu.
Jalan penyelesaian pun dirembug. Hal ini berhasil dilaku-kan pada waktu itu. Mendirikan satu kompleks pelajar dan mahasiswa sebagai salah satu jawaban dari model penyelesaian. Jalan ini bukan satu-satunya, tapi menjadi satu jalan yang sangat penting bagi masa depan Aceh. Pilihan yang secara emosional sangat strategi dan patut dipikirkan.
Jalan penyelesaian semacam ini, turut ditentukan oleh pimpinan Komando Daerah Militer Aceh yang saat itu dipegang Kolonel Muhammad Jasin. Bagi Jasin, perang tidak mungkin akan menyelesaikan masalah. Perang akan meninggalkan bekas. Anak cucu akan memungut bekas itu untuk memacu dan memicu bentuk konflik yang baru. Maka pilihan damai, bukan pilihan yang keliru.