Mengapa Muncul Konflik?

Agaknya pertanyaan ini sebagai sesuatu yang sulit dan rumit untuk dijawab. Konflik terkait dengan pemberontakan yang pernah terjadi dalam republik di Aceh. Konflik inilah yang memiliki berbagai sebab dan kompleks. Bukan sesuatu yang mudah untuk …

Agaknya pertanyaan ini sebagai sesuatu yang sulit dan rumit untuk dijawab. Konflik terkait dengan pemberontakan yang pernah terjadi dalam republik di Aceh. Konflik inilah yang memiliki berbagai sebab dan kompleks. Bukan sesuatu yang mudah untuk menjawab secara tuntas.

Jika ditelusuri, ada banyak sebab dan saling berkaitan sebagai pemicu pemberontakan (Setyaningrum, 2022). Sejumlah penyebab kongkret disebutkan Murizal Hamzah (2014) dan Adi Warsidi dalam Aceh Kini (Warsidi, 2023).

Deklarasi Gerakan Aceh Merdeka, tanggal 4 Desember 1976 di Gunung Halimon, Kabupaten Pidie, merupakan salah satu peristiwa pemberontakan penting, hingga berakhir di meja perundingan dan disepakati dalam MoU di Helsinki tanggal 15 Agustus 2005.

Pemberontakan tahap awal adalah deklarasi DI/TII tanggal 21 September 1953 yang dilakukan Teungku Muhammad Daud Beureueh. Isinya, antara lain menyatakan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia. Sejumlah tokoh yang pada fase berikutnya berada dalam satu gerbong Aceh Merdeka, terlibat sejumlah interaksi dan komunikasi tentang DI/TII. Bahkan waktu itu, Muhammad Hasan di Tiro yang sedang kuliah di Columbia University, Amerika Serikat, dan bekerja pada Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terlibat komunikasi via surat dengan ayah dari Malik Mahmud terkait DI/TII.

Saat penumpasan DI/TII, tahun 1954, terjadi insiden penyerangan. Setelah itu dilakukan operasi yang menyebabkan pembunuhan terhadap warga sipil yang berdekatan dengan lokasi. Itulah tragedi Pulot Cot Jeumpa, kawasan Leupueng, Aceh Besar.

Peristiwa ini bermula saat adanya penyerangan tanggal 25 Februari 1955, yang dilakukan tentara DI/TII yang dipimpin Pawang Leman (mantan camat setempat yang berpangkat setara mayor) terhadap truk prajurit Batalion B dan anggota Batalon 142 dari Sumatera Barat yang membawa 16 pasukan dan drum berisi minyak. Esoknya (tanggal 26 Februari 1955), sekitar 40 tentara Batalion 142 masuk kampung mencari tentara DI/TII yang melakukan penyerangan dan menyebabkan tentara di dalamnya meninggal. Disebabkan tidak ditemukan, mereka kemudian mengumpulkan warga sipil dan membawanya ke pinggir laut. Mereka menembak 25 warga sipil dan meninggal. Senin, 28 Februari 1955, batalion yang sama menembak 64 warga. Peristiwa ketiga, penembakan 10 orang di Krueng Kalee tanggal 4 Maret 1955 (Hamzah, 2014).

Peristiwa ini terendus oleh Koran Persitiwa. Koran ini kemudian memberitakan peristiwa ini pada 3 Maret 1955, dengan judul berita “Bandjir Darah di Tanah Rentjong”. Pada edisi 10 Maret 1955, Koran Peristiwa menulis nama-nama warga yang ditembak. Berita ini lalu menyebar dan dikutip sejumlah media penting, seperti New York Times, Washington Post, Asashi Simbun, dan lain-lain (Hamzah, 2014; Acehkini, 2021).

Peristiwa inilah yang menimbulkan gejolak emosional Muhammad Hasan di Tiro dari Amerika Serikat. Bahkan tragedi ini disebut sebagai genosida dan menjadi awal Tiro kemudian terlibat dalam politik perlawanan (Hamzah, 2014).

Seiring dengan itu, Hasan Tiro menindaklanjuti dengan protes kepada Pemerintah Indonesia, dengan mengirim satu ultimatum kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang dianggapnya bertindak fasis. Beberapa media di Indonesia, seperti Abadi, Indonesia, Raya, dan Keng Po, memuat ultimatum Hasan Tiro ini. Hasan Tiro melaporan kejadian ini ke agenda PBB. Inilah titik awal yang lebih intens Tiro dan DI/TII Aceh (Hamzah, 2014).

Sekali lagi, bahwa ada banyak sebab yang saling terkait, dan tidak pada satu sebab saja. Konflik yang kemudian menjalar hingga lebih tiga dekade, telah berlangsung dengan upaya dan proses menyelesaikannya dilakukan dengan berbagai hasil yang diperoleh.

 

Leave a Comment