Lika Liku Konflik

Konflik di Aceh bermula dari pergolakan DI/TII, dengan alasan yang sudah disebutkan dengan tegas. Dengan berbagai kompleksitas di dalamnya dan figur yang menjadi inisiator dan penggerak, antara lain Teungku Muhammad Daud Beureueh (Adan, 2007; Adan …

Konflik di Aceh bermula dari pergolakan DI/TII, dengan alasan yang sudah disebutkan dengan tegas. Dengan berbagai kompleksitas di dalamnya dan figur yang menjadi inisiator dan penggerak, antara lain Teungku Muhammad Daud Beureueh (Adan, 2007; Adan & Azhar, 2012).

Tokoh ini tercatat dalam sejarah pemberontakan yang di dalam buku-buku sejarah ditempatkan sebagai pemberontak. Dalam sebagian besar benak masyarakat Aceh, ia ditempatkan dihati mereka sebagai tokoh berjasa (Dewanto, 2011). Ada perbedaan cara pandang dan penempatannya dalam memahami Aceh. Cara ini yang sebelumnya digunakan oleh tokoh-tokoh penghubung Aceh ke pemerintah pusat.

Kita bisa lihat, misalnya dari sebab-sebab pemberontakan semakin cepat terjadi. Menurut Ali Hasjmy, pemberontakan itu, lewat tiga hal, mempercepat prosesnya. Pertama, pimpinan-pimpinan batalion yang ada dengan mudah diganti tanpa mempertimbangkan masyarakat, terutama dengan pimpinan batalion baru yang diindikasikan kader komunis. Kedua, secara masif ulama Aceh dan pimpinan pemerintahan difitnah dan dituduh sebagai kaki tangan Belanda. Pemberontakan terhadap pemerintah pusat disebabkan alasan tersebut. Ketiga, waktu berkembang selebaran di wilayah Sumatra Utara tentang tokoh-tokoh Aceh yang akan ditangkap karena kesalahannya kepada pemerintah pusat (Hasjmy, 1985; Jakobi, 1979; Hasjmy, 1995).

Pada penjelasan sebelumnya, ada sejumlah peristiwa yang mengakibatkan gejolak emosi dan psikologi, secara langsung atau tidak turut berkontribusi menggerakkan pergolakan tahap berikutnya. Terutama setelah pemberontakan DI/TII berakhir dengan damai yang ditandai turun dan bergabung kembali Teungku Muhammad Daud Beureueh dan pasukannya ke pangkuan ibu pertiwi pada 9 Mei 1962. Kasus yang disebutkan di atas, tragedi Pulot Cot Jeumpa yang memunculkan empati dunia.

Sebelum Daud Beureueh turun gunung, Aceh diberikan status istimewa, dengan Keputusan Perdana Menteri Nomor 1/Missi/1959 tanggal 26 Mei 1959. Dengan keputusan ini, Aceh diberikan keistimewaan dalam bidang agama, pendidikan, dan adat-istiadat.

Sepanjang 1962 hingga 1974, sejumlah peristiwa terjadi yang kemudian menggumpal keinginan menghidupkan misi baru untuk memerdekakan Aceh. Hal ini terujud setelah dilaksanakan persiapan, tanggal 4 Desember 1976. Hasan Tiro masuk ke Aceh melalui sebuah kapal motor kecil dari teluk Pasi Lhok Kembang Tanjong, Pidie.

Saat deklarasi Aceh Merdeka, Hasan Tiro juga membentuk kabinet dengan sejumlah nama seperti Muchtar Hasbi, Zaini Abdullah, Husaini Hasan, Zubir Mahmud, Amir Ishak, Teungku Ilyas Leube, Teungku Muhammad Usman lampoih Awe, Malik Mahmud, Amir Rasyid Mahmud, Daud Husin (Daud Paneuk), dan Keusyik Umar (Hamzah, 2014).

Hasan Tiro terus berada di Aceh hingga 18 Maret 1979, ia keluar Aceh dari pante Jeunieb, dan kembali ke Amerika, dan akhirnya menetap di Swedia. Sepanjang era, nama ini tumbuh mekar di Aceh. Namun ketika keamanan ditingkatkan, gerakan mengalami naik-turun. Orang-orang yang kelak akan menjadi pasukan GAM direkrut secara diam-diam. Mereka dikirim untuk dilatih di kamp Tanzura, Libya.

Walau berhadapan dengan kebijakan keamanan yang terus meningkat, upaya untuk menghidupkan gerakan perlawanan tumbuh sedemikian rupa. Ada semangat yang dibangun pada masa itu, sehingga proses rekrut terus berlangsung.

Leave a Comment