Pada tanggal 7 Agustus 1998 siang, saat berada di Kota Lhokseumawe Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Menteri Perta-hanan dan Keamanan (Menhankam)/Panglima Angkatan Ber-senjata Republik Indonesia (ABRI), Jenderal Wiranto, dengan resmi mencabut status DOM Aceh. Wiranto memohon maaf kepada masyarakat Aceh. Saat mencabut status ini, Jenderal Wiranto menyampaikan sebagai berikut:
Pada hari ini, selaku pimpinan ABRI dan atas restu Presiden, saya putuskan bahwa keamanan Aceh sepenuh-nya saya serahkan kepada rakyat Aceh sendiri, yaitu kepada para ulama, tokoh masyarakat, dan seluruh lapisan masyarakat, termasuk satuan ABRI milik Polda dan Korem Aceh sendiri. Kepada Pangdam I Mayjen TNI Ismet Yusaeri, saya beri waktu satu bulan untuk menarik semua pasukan yang bukan organik, kembali ke pangkalannya masing-masing (Kompas, 1998; Serambi, 1998).
Dalam media, sempat terjadi perdebatan terkait dengan status DOM tersebut. Debat tersebut pernah tajam, setelah sebelumnya Rektor Universitas Syiah Kuala, waktu itu dijabat Prof. Dr. Dayan Dawood, mengundang Panglima ABRI dan Menteri Pertahanan dan Keamanan ke Aceh. Dalam kesempatan tersebut, Universitas Syiah Kuala antara lain meminta agar dipertimbangkan status DOM Aceh dicabut.
Debat yang saya maksud, ada sejumlah pihak yang mem-pertanyakan apakah memang ada status DOM di Aceh. Sejumlah pihak merasa bahwa dari aspek kebijakan, pelaksanaan DOM harus dilaksanakan berdasarkan kebijakan yang terpusat. Hal ini yang menjadi alasan, dalam konteks kebijakan, pelaksanaannya dipertanyakan.
Sebelumnya, Presiden BJ. Habibie berkunjung ke Aceh pada tanggal 26 Maret 1999. Saat itu, Presiden Habibie atas nama Pemerintah dan ABRI menyampaikan permintaan maaf kepada rakyat Aceh, khususnya kepada keluarga korban ekses operasi keamanan yang dilaksanakan di daerah itu. Sebagai langkah awal untuk membangun masa depan Aceh, Presiden Habibie berjanji akan melaksanakan sembilan program kerja jangka pendek, menengah, dan jangka panjang (Karya, 1998). Saat itu, sejumlah program disampaikan Habibie, termasuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia, dan meng-hidupkan kembali kereta api di Aceh.
Setelah pencabutan status DOM pun, suasana Aceh tidak menentu. Tensi konflik kembali naik, saat dialog yang ber-langsung hingga 2002, gagal mencapai kesepakatan. Pemerintah lalu menerapkan Darurat Militer (DM) berdasarkan Keppres Nomor 28 Tahun 2003, yang berlaku pada 19 Mei 2003.