Dialog Demi Siapa?

Saya menyebut posisi dialog yang harus dilakukan demi Tuhan. Semua pihak harus menganggap bahwa dialog yang dilakukan akan dipertanggungjawabkan di hadapan mahkamah Khalik, nantinya. Makanya ia harus diupayakan sekuat tenaga sebagai jalan bagi penyelesaian konflik. …

Saya menyebut posisi dialog yang harus dilakukan demi Tuhan. Semua pihak harus menganggap bahwa dialog yang dilakukan akan dipertanggungjawabkan di hadapan mahkamah Khalik, nantinya. Makanya ia harus diupayakan sekuat tenaga sebagai jalan bagi penyelesaian konflik.

Beberapa kali saya kutip sepenggal kalimat awal sebuah opini yang dituliskan Sahlan Hanafiah –dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Fakultas Ushuluddin, yang sempat mengenyam kuliah di Helsinki. Dengan pola pikir yang sangat sederhana, Sahlan Hanafiah, di Serambi Indonesia, pernah menulis:

Dialog itu ‘kan bercakap-cakap? Tetapi mengapa pula ketika dialog berlangsung, senjata masih saja ikut terlibat, sehingga mengakibatkan jatuhnya korban, harta dan nyawa. Bukankah dialog pekerjaan retorika, yang meng-andalkan kata-kata. Atau, memang terminologi dialog telah tereduksi, terpeleset pada jurang menciptakan kekerasan yang melahirkan korban?

Opini ini ditulisnya saat proses dialog belum mencapai puncaknya. Bahkan saat itu, ketika dialog terancam gagal periode awal. Dan, keresahan Sahlan Hanafiah, waktu itu, tentu sangat beralasan. Sebagai orang yang pernah terlibat dalam organisasi kemanusiaan, membuat Sahlan merasa keadaan ini harus mendapat perhatian banyak orang.

Sebagai sebuah proses, tentu dialog juga sebagai upaya damai yang harus terus digelorakan. Saat tsunami terjadi, tanggal 26 Desember 2004, banyak pihak sipil merasa bencana bisa jadi pintu masuk bagi dialog dalam proses membicarakan damai.

Kenyataannya, dialog antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memang kembali dilaksanakan. Waktu itu, tempatnya mulai dilakukan di Helsinki, tanggal 12-17 April 2005. Sebelumnya, para pihak sudah pernah dilaksanakan dialog “informal”, juga di kota yang sama, pada tanggal 28-30 Januari 2005 dan tanggal 21-23 Februari 2005. Waktu itu, semua pertemuan difasilitasi mantan Presiden Finlandia Marti Ahtisaari.

Tujuan dialog tentu saja untuk menghentikan kekerasan di Aceh. Tapi, saban hari, waktu itu, di Aceh ada saja korban. Kalau tidak GAM, ya tentara, polisi, atau rakyat. Pada posisi demikian, dialog tentu saja menjadi pilihan penting dan strategis.

Babak dialog pascatsunami, difasilitasi Crisis Management Initiative (CMI). Saat sejumlah pertemuan telah selesai digelar, CMI menargetkan akan mendapatkan hasil kongkret pada Juli 2005. Media Liaison CMI, Maria-Elena Cowell, menargetkan Juli 2005 untuk memberi hasil konkret dan menyeluruh atas konflik di Aceh dan semua babak perundingan telah selesai. Ahtisaari waktu itu mengatakan bahwa perundingan harus selesai dengan menyeluruh, permanen, dan melegakan. “Nothing is agreed until everything ia agreed,” kata Ahtisaari (Kompas, 16 April 2005).

Leave a Comment