Penyebab konflik sangat beragam dan luas (Adam, 2008). Walau rumit dan lingkupnya meluas, upaya menyelesaikan konflik harus dilaksanakan (Dhakidae, 2001). Usaha sekecil apa pun dapat menjadi jejak bagi proses penyelesaian konflik secara menyeluruh. Jadi apa pun langkah dalam rangka menyelesaian konflik, tetap berkontribusi bagi proses panjang ini.
Jika diurai, terdapat sejumlah pendapat dari pihak dalam melihat penyebab konflik yang tidak terakomodir. Konflik Aceh generasi awal, disebabkan proses bagaimana kekuasaan tidak mengakomodasi tuntutan kehidupan beragama (Amin, 2014), padahal Aceh memiliki peran besar dalam revolusi di Indonesia (Zamzami, 1990). Ketidakadilan dalam konteks ekonomi dan pengelolaan sumber daya, menjadi hal penting hingga konflik (Awaludin, 2009). Ada juga literatur yang berbicara marwah –satu posisi yang sebenarnya sangat berasosiasi kepada rasa dan batin.
Konflik di Aceh sendiri sudah berlangsung dalam sejumlah babak. Konflik generasi awal setelah kemerdekaan, sudah pernah diselesaikan dengan cara-cara yang sangat elegan (Darussalam, 1969). Bahkan kemudian Aceh dijuluki sebagai daerah modal bagi Republik Indonesia. Ada sejumlah kontribusi besar yang dianggap tidak sederhana bagi kebutuhan republik waktu itu. Tersumbatnya rasa ini menyebabkan konflik awal Meletus. Namun jalan penyelesaian konflik Aceh waktu itu, antara lain dengan memperkuat keistimewaan dan mendirikan Darussalam, yang di dalamnya ada kampus Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry, dan kampus Teungku Syiek Pante Kulu (Talsya, 1969).
Keberadaan tiga kampus tersebut, bagi masyarakat Aceh, dipandang sebagai penyangga bagi masa depan peradaban yang dianggap redup pascakonflik. Dan perjuangan memilih jalan ini bukankah pilihan yang sederhana dan mudah. Sejumlah catatan memperlihatkan upaya keras kaum kelas menengah Aceh untuk merealisasikan pembangun peradaban Aceh lewat tapak tiga kampus.
Ketiga kampus ini sendiri juga mewakili wajah pendidikan Aceh. Ada kampus yang mewakili pendidikan umum, pendidikan agama, dan kampus dayah manyang –sebagai representasi dari pendidikan tinggi formal dayah di Aceh.
Perjalanan konflik pun pernah dilahirkan undang-undang terkait, yang secara langsung dapat dilihat sebagai bagian dari upaya untuk meredam konflik. Pada tahun 1999, diterbitkan Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Undang-undang menegaskan keistimawaan Aceh dalam tiga hal, yakni agama, pendidikan, dan adat-istiadat. Kemudian tahun 2001, pemerintah juga menerbitkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Terakhir tahun 2006, setelah damai ditandatangani di Helsinki, pemerintah menerbitkan Undang-Undang N0. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.