Kita bersyukur soal anak bangsa di Aceh turut menjadi pembicaraan. Pada saat yang sama, kita pusing dengan puing dan mayat-mayat yang bergelimpangan. Negara-negara yang membantu dengan sejumlah dana, turut mengirimkan ribuan tenaga untuk melaksanakan evakuasi yang tak mampu kita laksanakan sendiri secara maksimal. Ketika tentara asing itu mendarat, langsung tampak bahwa mereka memang memiliki keunggulan –salah satunya karena mereka yang berangkat dari psikologis tanpa bencana.
Bukan salah kita. Sebagai korban, tentu tak banyak yang bisa kita dilakukan. Orang-orang yang bertugas mengurusi orang lain, tak mungkin berpaling dengan kenyataan bahwa mereka juga memiliki keluarga yang menjadi korban. Masalahnya, banyak petugas kita, entah itu aparatur, tenaga medis, dan orang-orang yang bertanggung jawab di daerah, terlalu larut dengan itu sehingga banyak masyarakat menerima ekses. Mereka tak mendapat pelayanan sebagaimana mestinya; ya, walau menurut ukuran dalam situasi bencana.
Banyak negara turut memikirkan anak bangsa. Mereka yang datang, menjangkau daerah-daerah terisolir dan dilempar makanan dari helikopter; mendirikan rumah sakit darurat yang langsung di tempat yang dibutuhkan; hampir setiap lokasi pengungsian, terlihat inisiasi untuk memfasilitasi mereka yang mengajarkan anak bangsa untuk bangkit.
Sepertinya bencana demi bencana di negara kita ini mengajarkan agar kita bisa jujur, bahwa persoalan kemanusiaan jangan tercampuradukkan dengan politik –apalagi SARA. Aceh, kita saksikan kemudian menjadi contoh untuk proses tersebut.
Apa yang juga penting dipikirkan dalam suatu bencana? Katakanlah, semangat. Angka-angka pembangunan sering tak sepenuhnya terukur dalam semangat. Anak bangsa di Aceh, atau di mana pun daerah yang mengalami bencana, harus dipikirkan bagaimana mereka akan bersekolah. Ketika semangat mereka menghilang, pada titik itulah diperkirakan terjadi ancaman lost generation. Orang-orang yang kehilangan harapan, trouma, tak sepenuhnya dapat diselesaikan dengan angka-angka.
Dalam satu koran, waktu itu saya menulis opini, semua itu membutuhkan sesuatu yang khusus yang di luar kamus matematika. Sistem sosial, nilai-nilai dan kebiasaan, berhadapan dengan banyaknya orang dalam sebagian komunitas yang sudah hilang dan meninggal. Gampong dengan masyarakatnya yang tinggal sebagian kecil, tentu membutuhkan semangat lagi untuk mengembalikan semua yang pernah ada.
Kenyataan (terasa) pahit saat mengamati perkembangan penanganan korban bencana, bahwa sampai sekarang, petinggi negara melulu memikirkan bagaimana rumah dibangun, jalan diperbaiki, kantor-kantor berdiri kokoh kembali –karena hal itu sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Sangat kecil porsi yang diberikan untuk berpikir serius dalam bidang-bidang nonfisik. Padahal aspek ini sebagai penopang utama masyarakat korban secara keseluruhan.