Pada kenyataannya masih ada beberapa ketentuan pelaksana Undang-Undang Pemerintahan Aceh hingga kini masih belum tuntas. Patut diingat bahwa ketentuan pelaksana tidak hanya apa yang menjadi kewajiban pemerintah (Jakarta). Pada kenyataannya, belum semua qanun juga diselesaikan pada tingkat Aceh.
Kedua pertanyaan ini (normatif dan sosiologis) sangat penting untuk dijawab. Konon lagi berbagai kekurangan dalam proses pembentukan hukum akan menjadi masalah hukum tersendiri, terutama bisa memunculkan suasana “kekosongan” hukum. Dalam hal ini, hukum yang seharusnya diatur dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, namun karena belum selesai ketentuan pelaksana, tidak bisa dioperasionalkan.
Konsep peraturan pelaksana itu memiliki stratifikasi tertentu. Untuk mengukur sebuah produk peraturan perundang-undangan, dalam ilmu hukum memiliki parameter tersendiri. Misalnya untuk untuk menemukan apa saja yang dikatakan produk peraturan perundang-undangan, maka harus dilihat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-undang tersebut mengatur hirarki peraturan perundang-undangan, mulai dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusya-waratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Peng-ganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki tersebut.
Pada saat yang sama, hukum juga menyediakan asas, baik asas hukum umum maupun asas hukum khusus. Paling tidak terdapat sejumlah asas yang sangat berkaitan dengan keseharian kehidupan hukum.
Pertama, asas lex superior derogate lex inferiori (peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi).
Kedua, asas lex specialis derogate lex generalis (peraturan perundang-undangan yang lebih khusus mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih umum).
Ketiga, asas lex posterior derogate lex priori (peraturan perundang-undangan yang lahir kemudian mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lahir terlebih dahulu jika materi yang diatur peraturan perundang-undangan tersebut sama).
Dengan berasumsi pada stratifikasi dan asas tersebut, maka sesungguhnya apa yang disebut sebagai konflik hukum, kalau pun ada pada dasarnya bisa diselesaikan. Dengan konsep asas hukum tersebut di atas, kemungkinan besar yang terjadi adalah konflik tafsir hukum. Pun demikian dalam hukum juga ada jalan keluar, yakni dengan beberapa model tafsir hukum yang bisa dilakukan secara gramatikal, sosiologis, otentik, historis, dan perbandingan. Dengan enam model penafsiran tersebut, pada dasarnya perbedaan yang muncul dalam menafsir isi undang-undang pun bisa ditemukan.