Catatan Melawan Lupa

Kata konflik dan tsunami, tidak mungkin terpisah dari hal yang ingin saya bahas dalam bab ini. Melalui mesin pencari, google.com, kata konflik lebih sedikit tersedia di dalamnya (mencapai 65,1 juta) tinimbang tsunami (yang mencapai 316 …

Kata konflik dan tsunami, tidak mungkin terpisah dari hal yang ingin saya bahas dalam bab ini. Melalui mesin pencari, google.com, kata konflik lebih sedikit tersedia di dalamnya (mencapai 65,1 juta) tinimbang tsunami (yang mencapai 316 juta). Dua kata penting ini yang tidak mungkin bisa dilepaskan dari proses pencapaian perdamaian di Aceh.

Banyaknya angka yang mencari hal ini, bisa dipahami karena ia berkaitan dengan banyak hal dalam kehidupan manusia. Konflik, misalnya secara umum berkait dengan berbagai hal dalam kehidupan kita. Secara konsep, konflik pada dasarnya adalah pertentangan. Konflik bisa muncul pada skala yang berbeda, seperti konflik antarorang, konflik antarkelompok, konflik kelompok dengan negara (Susan, 2014).

Demikian juga dengan tsunami, bencana yang kerap terjadi dan tercatat terjadi di banyak tempat. Dengan kejadian yang menyebar dan dengan skala yang berbeda, membuat kata ini termasuk yang banyak dicari di seluruh dunia. Apalagi para peneliti atau para penulis yang membutuhkan pengetahuan tentang tsunami ini.

Ketika dua kata ini dikaitkan dengan kata Aceh, jumlah pencarinya berbeda. Konflik Aceh, dicari tidak kurang dari 7,62 juta. Kata ini sendiri, ketika dikaitkan dengan konflik yang lebih khusus, misalnya “konflik RI-GAM”, pencarinya mencapai 146 ribu. Atau kata “konflik pemberontakan Aceh”, mencapai 112 ribu. Sedangkan tsunami Aceh, mencapai 4,81 juta.

Kata-kata terkait dengan Aceh, terasa ada peningkatan para pencari saat momentum tertentu. Ketika mendekati bulan Desember sebagai peringatan tsunami dalam tahun masehi (26 Desember 2024) –sedangkan dalam tahun hijriah, terjadi pada tanggal 14 Zulkaidah 1425 H. Atau pada momentum Agustus, saat Aceh memperingati hari damai.

Setiap bulan Agustus, dalam hampir dua dekade terakhir, ada dua peristiwa penting di Aceh yang penting untuk diingat, selain ulang tahun kemerdekaan 17 Agustus.

Pertama, penandatanganan perdamaian antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka, 15 tahun lalu, 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Memorandum of Understanding between The Government of Republic of Indonesia and the Free Aceh Movement.

Kedua, berdasarkan perdamaian tersebut, ada konsensus politik, hitam di atas putih, berupa lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 1 Agustus 2006. Di tempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633. Di Aceh, undang-undang ini familiar dengan singkatan UUPA, walau dalam kajian hukum, singkatan ini juga digunakan untuk undang-undang yang lain, yakni Undang-Undang tentang Pokok-pokok Agraria. Untuk tulisan ini, saya menggunakan singkatan UUPA untuk konteks undang-undang yang sedang dibahas ini.

Leave a Comment