Dalam pembentukan UUPA, tolak-tarik politik juga terjadi. Di satu pihak, kekuasaan selalu berkaitan dengan keinginan pembentukan hukum yang menguntungkan posisi status quo. Namun di pihak lain, gelombang interaksi dengan berbagai kepentingan juga terjadi. Di sinilah tergambar bahwa konsep ”hukum sebagai sarana” bisa dibaca dengan jelas.
Hukum sebagai suatu proses juga tergambar dalam sejumlah ketentuan yang mengatur ketentuan khusus yang telah disebutkan di atas. Dalam hal ini, UUPA juga mengadopsi banyak ketentuan dari konsep ”hukum yang hidup” –walau penggunaan konsep ini bisa diperdebatkan.
Kenyataan ini tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Ada dasar kuat yang dibangun, yakni kepentingan akan ”langgengnya damai”. Sejumlah prasyarat dan ketentuan pelaksanaan dari undang-undang pada akhirnya berpengaruh terhadap sejauhmana upaya pemerintah dalam menyemangati ”kelanggengan perdamaian” tersebut bagi Aceh. Namun demikian, proses penguatan perdamaian juga dibutuhkan dari bawah, dari masyarakat.
Atas dasar tersebut, substansi yang diatur pun dalam rangka mengakomodir cita yang disebutkan di atas.
Dari jalan dialog pascatsunami tersebut, ditandatangani MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Dengan MoU melahirkan UUPA yang memberi kewenangan yang lebih nyata kepada Aceh. Misalnya kewenangan Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah, meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama (Pasal 7).
Hadirnya UUPA memberi kewenangan melebihi dari undang-undang sebelumnya, terutama Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. UUPA juga jauh melampaui apa yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah –undang-undang yang berisi penegasan sejumlah kewenangan nyata daerah yang diberikan pasca Orde Baru berakhir.
Beberapa kewenangan khusus yang diatur UUPA, misal kewenangan pembentukan undang-undang, juga pembuatan persetujuan internasional dan kebijakan administratif yang berkait langsung dengan Aceh (Pasal 8). Ada kewenangan hal kerjasama internasional (Pasal 9), dan kewenangan dalam pembentukan badan/lembaga/komisi (Pasal 10).
Di samping itu, terdapat beberapa aturan yang khusus lainnya yang membedakannya dengan ketentuan yang sudah ada. Pertama, lembaga daerah, ada yang sama dengan daerah lain seperti Gubernur, KIP, Panwas, dan Mahkamah Syariyah, namun ada juga yang hanya ada di Aceh seperti Wali Nanggroe, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Majelis Pemdidikan Daerah (MPD), Majelis Adat Aceh (MAA), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan Pengadilan Hak Asasi Manusia.