Aturan Pelaksana UUPA

Sebagai undang-undang yang lahir dari kepentingan penyelesaian konflik secara damai, maka wajar bila berbagai kewenangan ditegaskan secara jelas (Tripa, 2011). Pada Pasal 7 Undang-Undang Pemerintahan Aceh menyebutkan dengan tegas: Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur …

Sebagai undang-undang yang lahir dari kepentingan penyelesaian konflik secara damai, maka wajar bila berbagai kewenangan ditegaskan secara jelas (Tripa, 2011). Pada Pasal 7 Undang-Undang Pemerintahan Aceh menyebutkan dengan tegas: Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah, meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.

Beberapa hal yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh adalah: (1) Kewenangan dalam pembentukan undang-undang, pembuatan persetujuan inter-nasional dan kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Aceh; (2) kewenangan dalam hal kerjasama inter-nasional; (3) kewenangan dalam pembentukan berbagai badan/lembaga/komisi; (4) lembaga daerah yang khusus berbeda dengan daerah lain seperti Wali Nanggroe, MPU, MPD, MAA, KKR, dan Pengadilan HAM; (5) kewenangan Gubernur berkait dengan pemerintahan Aceh, memberikan persetujuan terhadap pengangkatan Kapolda dan Kajati, serta proses seleksi bintara dan perwira Kepolisian; (6) Jumlah anggota DPRA 125 % dari ketentuan nasional; (7) Partai Lokal.

Sementara ketentuan pelaksanaan dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh adalah sebagai berikut:

Pertama, Peraturan Pemerintah tentang: (1) pembagian kewenangan kawasan khusus [Pasal 4 ayat (5)]; (2) kedudukan keuangan gubernur [Pasal 43 ayat (5)]; (3) tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur [Pasal 43 ayat (6)]; (4) partai politik lokal [Pasal 95]; (5) tata cara pengangkatan dan pemberhentian sekda [Pasal 107]; (6) standar, norma dan prosedur pembinaan dan pengawasan PNS [Pasal 124 ayat (2)]; (7) pengelolaan bersama sumberdaya alam dengan kontrak kerjasama [Pasal 160 ayat (5)]; dan (8) pengusulan nama dan gelar pejabat pemerintahan yang dipilih [Pasal 251 ayat (3)].

Kedua, Peraturan Presiden, tentang: (1) tata cara konsultasi dan pemberian pertimbangan [Pasal 8 ayat (4)]; (2)  kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri [Pasal 9 ayat (4)]; dan (3) pelimpahan Kantor Pertanahan Nasional [Pasal 253 ayat (2)].

Ketiga, Keputusan Presiden, tentang: (1) penetapan sekretaris daerah [Pasal 102 ayat (4)]; dan (2) pemberhentian sekretaris deaerah [Pasal 103 ayat (3)].

Keempat, Qanun Aceh, tentang: (1) kawasan perkotaan [Pasal 6 ayat (7)]; (2) pembentukan badan dan/atau komisi [Pasal 10 ayat (2)]; (3) pembagian urusan pemerintahan berkaitan syariat Islam [Pasal 13 ayat (1)]; (4) kewenangan Pemerintahan Aceh [Pasal 16 ayat (4)]; (5) susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Aceh [Pasal 21 ayat (3)]; (6) kebijakan Pemerintahan Aceh [Pasal 39 ayat (4)]; (7) hak gubernur untuk memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/walikota [Pasal 43 ayat (7)]; (8) tata cara dan kewajiban gubernur dan bupati/ walikota [Pasal 46 ayat (3)]; (9) penyelenggaraan pemilihan umum [Pasal 56 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (6)]; (10) penyelenggaraan pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/ wakil bupati, walikota/wakil walikota [Pasal 73]; (11) partai politik lokal perserta pemilihan umum anggota DPR Aceh dan DPRK [Pasal 80 ayat (2)]; (12) bantuan keuangan kepada partai politik dan partai politik lokal [Pasal 84 ayat (4)]; (13 wali nanggroe [Pasal 96-97]; (14) lembaga adat [Pasal 98 ayat (4) dan Pasal 99 ayat (3)]; (15) pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat [Pasal 99 ayat (3)]; (16) susunan organisasi dan tata kerja sekretaris daerah Aceh dan sekretaris DPR Aceh [Pasal 100 ayat (1) dan Pasal 108 ayat (6)]; (17) susunan organisasi dinas dan lembaga teknis daerah [Pasal 101 ayat (5)]; (18) tata cara pemilihan imuem mukim atau nama lain [Pasal 114]; (19) tata cara pemilihan keuchik [Pasal 115]; (20) pelaksanaan syariat Islam [Pasal 125 ayat (3)]; (21) izin mendirikan tempat ibadah [Pasal 127 ayat (5)]; (22) hukum acara jinayat [Pasal 128 ayat (3) dan Pasal 132 ayat (1) dan (2)]; (23) hukum acara yang berlaku pada mahkamah syari’yah [Pasal 132 ayat (1)]; (24) tata cara pengangkatan, persyaratan, pendidikan PPNS [Pasal 134 ayat (2)]; (25) struktur organisasi, tata kerja, kedudukan protokoler, dan hal lain yang berkaitan dengan MPU [Pasal 138]; (26) tata cara pemberian pertimbangan MPU [Pasal 139 ayat (2)]; (27) RTRW Aceh [Pasal 16 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 142 ayat 6, Pasal 143 ayat (6) dan Pasal 171 ayat (2)]; (28) tata cara pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan masya-rakat yang berkelanjutan di Aceh [Pasal 134 ayat (6)]; (29) tata cara pelepasan hak atas tanah dan besarnya penggantian yang layak [Pasal 144 ayat (4)]; (30) pengendalian lingkungan hidup [Pasal 16 ayat (1) huruf j dan Pasal 148 ayat (3)]; (31) pers dan penyiaran Islami [Pasal 153 ayat (3)]; (32) rencana penggunaan dan pengembangan masyarakat [Pasal 159 ayat (3)]; (33) penanaman modal [Pasal 156 dan Pasal 165 ayat (2)]; (34) pelimpahan kewenangan kepada DKS [Pasal 167 ayat (2) dan ayat (3)]; (35) pembangunan dan pengelolaan pelabuhan dan bandar udara [Pasal 172 ayat (3)]; (36) pengerahan tenaga kerja ke luar negeri [Pasal 174 ayat (5)]; (37) tata cara pendaftaran dan perlindungan tenaga kerja [Pasal 175 ayat (4)]; (38) pemberian izin untuk jabatan tertentu untuk jangka waktu tertentu serta mekanisme pemberian rekomendasi [Pasal 176 ayat (4)]; (39) tata cara pembentukan keanggotaan organisasi pekerja/buruh [Pasal 177 ayat (3)]; (40) tata cara pengalokasian tambahan dana bagi hasil minyak dan gas bumi dan penggunaan DOK [Pasal 181, Pasal 182, Pasal 183, dan Pasal 184]; (41) dana pinjaman dari dalam dan/atau luar negeri dan bantuan luar negeri [Pasal 186 ayat (3)]; (42) penyertaan modal [Pasal 189 ayat (3)]; (43) pengelolaan keuangan Aceh [Pasal 190 ayat (2)]; (44) baitul mal [Pasal 191 ayat (2)]; (45) alokasi dan pengelolaan dana pendidikan antara pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota [Pasal 193 ayat (3)]; (46) tata cara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, perhitungan, pertanggung jawaban, dan penga-wasan APBA dan APBK [Pasal 197]; (47) penyelenggaraan administrasi kependudukan [Pasal 212 ayat (4)]; (48) hak atas tanah/ pertanahan [Pasal 213 ayat (5) dan Pasal 214 ayat (2)]; (49) Majelis Pendidikan Daerah (MPD) [Pasal 220 ayat (2)]; (50) kepariwisataan [Pasal 221 ayat (5)]; (51) benda-benda bersejarah [Pasal 222 ayat (2)]; (52) perlindungan dan pelayanan sosial [Pasal 223 ayat (4)]; (53) kesehatan [Pasal 224 ayat (5), Pasal 225 ayat 3, Pasal 226 ayat (3)]; (54) Komisi Kebenaran dan Rekonsisiasi [Pasal 230]; (55) pemberdayaan dan perlindungan perempuan [Pasal 231]; (56) perlindungan anak [Pasal 231]; (57) tata cara pembentukan qanun [Pasal 239 ayat (3)]; (58) pembentukan dan penyusunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja [Pasal 244 ayat (3)]; (59) lambang, simbol, himne Aceh [Pasal 246 ayat (4), Pasal 247 ayat (2), Pasal 248 ayat (3)].

Kelima, Qanun Kabupaten/Kota, tentang: (1) kawasan perkotaan [ketentuan Pasal 6 ayat (7)]; (2) pembentukan badan, komisi, lembaga kabupaten/kota [Pasal 10 ayat (2)]; (3) urusan wajib pemerintahan Kabupaten/kota [Pasal 17 ayat (4)]; (4) susunan organisasi dan tata kerja pemerintah kabupaten/kota [Pasal 21 ayat (3)]; (5) tata cara pembentukan, mekanisme kerja, dan masa kerja tim independen [Pasal 56 ayat (7)]; (6) penyelenggaraan pemilihan bupati/wakil bupati dan walikota/ wakil walikota [Pasal 73]; (7) tata cara penyaluran bantuan [Pasal 84 ayat (4)]; (8) perangkat daerah kabupaten/kota [Pasal 100 ayat (2)]; (9) susunan organisasi, tugas, fungsi sekretariat kabupaten/kota [Pasal 104 ayat (5)]; (10) susunan organisasi sekretariat DPRK [Pasal 109 ayat (6)]; (11) susunan organisasi dan kelengkapan imuem mukim [Pasal 114 ayat (4)]; (12) kedudukan, fungsi, susunan organisasi keuchiek [Pasal 117 ayat (2)]; (13) membina kerukunan beragama [Pasal 127 ayat (2)]; (14) tata ruang kabupaten [Pasal 142 ayat (6)]; (15) tata cara pelibatan masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan [Pasal 143 ayat (6)]; (16) tata cara pelibatan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup [Pasal 148 ayat (3)]; (17) pemberian izin investasi [Pasal 165 ayat (5)]; (18) peruntukan lahan dan pemanfaatan ruang [Pasal 171 ayat (3)]; (19) pengelolaan pelabuhan dan bandar udara [Pasal 172 ayat (3)]; (20) pengerahan tenaga kerja ke luar negeri [Pasal 174 ayat (5)]; (21) tata cara dan perlindungan tenaga kerja [Pasal 175 ayat (4)]; (22) tata cara pembentukan dan persyaratan organisasi buruh [Pasal 177 ayat (3)]; (23) pengelolaan APBK [Pasal 190 ayat (2)]; (24) baitul mal kabupaten/kota [Pasal 191 ayat (2)]; (25) pengelolaan dana pendidikan [Pasal 193 ayat (3)]; (26) kepen-dudukan dan identitas [Pasal 212 ayat (4)]; (27) pelaksanaan kewenangan pemerintah kabupaten/kota [Pasal 221 ayat (5)]; (28) peningkatan derajat kesehatan [Pasal 224 ayat (5)]; (29) pelibatan masyarakat dalam pelayanan kesehatan [Pasal 225 ayat (3)]; (30) program pemulihan psikososial [Pasal 226 ayat (3)]; (31) melindungi hak perempuan dan anak [Pasal 231 ayat (2)]; (32) tata cara mempersiapkan rancangan qanun [Pasal 239 ayat (3)]; (33) organisasi Satuan Polisi Pamong Praja [Pasal 244 ayat (3)]; (34) penghapusan kelurahan [Pasal 267 ayat (4)]; dan (35) kewenangan pemerintah kabupaten/kota melaksanaan UU ini [Pasal 270 ayat (3)].

Leave a Comment