Strata Hukum

Ada tulisan yang mengulas alasan mengapa negara itu harus berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan bukan negara berdasarkan kekuasaan (machtstaat). Dengan mengutip Kansil, latar belakang timbulnya pemikiran negara hukum itu merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan yang terjadi pada …

Ada tulisan yang mengulas alasan mengapa negara itu harus berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan bukan negara berdasarkan kekuasaan (machtstaat). Dengan mengutip Kansil, latar belakang timbulnya pemikiran negara hukum itu merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan yang terjadi pada masa lampau (Muabezi, 2017; Kansil, 2002).

Apa yang disebut oleh Kansil, pada dasarnya juga berkorelasi dengan upaya keakanan. Para Bapak Bangsa berpikir agar apa yang terjadi pada masa lampau itu tidak terulangi, walau dalam bentuk yang berbeda. Jadi penegasan bahwa bukan negara berdasarkan kekuasaan (machtstaat) ada kesadaran dalam rangka mengkonstruksi bangsa dan negara dengan hukum masa depan.

Ada hal lain sebagai penegasan bahwa ada hal sudah dirumuskan dari awal dalam konteks Indonesia, berupa negara hukum Indonesia. Penegasan ini dalam wujud negara hukum Pancasila. Indonesia ingin menegaskan bahwa ada ciri khas yang ada, khususnya terkait dengan posisi Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum. Ada penegasan bahwa Indonesia sebagai negara hukum Pancasila adalah pemahaman negara yang harus dimaknai dengan memiliki agama. Kondisi ini bisa saja berbeda dengan negara-negara yang tidak beragama. Artinya kebebasan beragama berlangsung dalam ruang yang memiliki agama, bukan dalam ruang yang bebas untuk tidak beragama.

Sebenarnya setelah amandemen, tidak ada lagi istilah rechtsstaat. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyebut “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Secara normatif, penegasan negara Indonesia adalah negara hukum, secara eksplisit ingin menegaskan bahwa tidak boleh ada sesuatu yang di luar hukum dijadikan sebagai alat apapun. Semuanya tergantung pada bagaimana hukum mengatur.

Dalam konteks ideologi hukum kita, sebenarnya ada diskursus yang juga terjadi, terutama pada perdebatan apakah hukum adat akan diambil sebagai ciri khas hukum kita. Saya ingat bagaimana adat itu ketika diilmiahkan dengan cara pandang ilmiah sarjana Barat. Diskursus ini tidak sebatas berhenti pada hukum di wilayah tertentu dengan hukum di wilayah lain. Menarik untuk memaknai apa yang dipikirkan oleh perintis kajian hukum pribumi abad ke-20 di Indonesia, melalui Snouck Hurgjronje, Van Vollenhoven dan Bzn Ter Haar? Ternyata ada proses menggunakan kadar Barat untuk melihat hukum pribumi. Posisi tidak akan pernah ketemu ketika tidak disediakan irisan yang memungkinkan kedua wujud hukum. Jika diperdalam, yang satu deangan keinginan pencapaian kepastian dalam wujud positivisme hukum, yang lain berangkat dari hukum historis Savigny dan hukum sosiologis Eugen Ehrlich, yang berpegang pada proses bahwa hidup dan matinya hukum tergantung dari masyarakatnya.

Dengan cara berpikir khas Indonesia, juga menegaskan hal lain lebih jauh dan kongkret, adalah pada upaya untuk menghindari adanya strata dalam pemaknaan, pemahaman, maupun dalam pelaksanaan hukum. Para Bapak Bangsa memiliki cita-cita agar hukum itu selalu berada dalam jalurnya, yang dilaksanakan oleh penguasa yang juga dibingkai tindak-tanduknya.

Akan tetapi bukan mudah untuk menghindari adanya strata hukum dalam pelaksanaannya. Hal ini diingatkan oleh Soetandyo Wignjoesoebroto mengenai strata masyarakat yang turut berpengaruh bagaimana hukum berjalan terhadap strata-strata dalam kehidupan sosial bangsa. Soetandyo menyebut dalam ruang ilmu sosial dikenal istilah stratifikasi, sebagai suatu proses terjadinya pelapisan-pelapisan dalam kehidupan bermasyarakat, yang menjadikan suatu struktur kehidupan terstratifikasi ke dalam kelas-kelas. Status rendah dan tinggi lalu muncul. Dalam teori fungsional, eksistensi suatu komponen tidak mungkin dilepas dari fungsi –dan pemungsian. Dalam teori struktural, strata akan menentukan bagaimana jangkauan lapisan-lapisan tersebut dalam menyelesaikan persoalan yang ada dalam hidupnya (Wignjoesoebroto, 2013).

(Foto: koran-jakarta.com)

Leave a Comment