Moral dan Hukum

Sejak abad ke-19, hukum didominasi dengan cara berpikir positivisme hukum, namun tetap saja ada aliran-aliran lain yang bergerak di arus bawah. Sebagaimana juga perkembangan berbagai aliran sebelumnya, yang memiki masa berkembang dengan pesat. Menurut Satjipto …

Sejak abad ke-19, hukum didominasi dengan cara berpikir positivisme hukum, namun tetap saja ada aliran-aliran lain yang bergerak di arus bawah. Sebagaimana juga perkembangan berbagai aliran sebelumnya, yang memiki masa berkembang dengan pesat. Menurut Satjipto Rahardjo, aliran-aliran arus bawah atau aliran alternatif seperti aliran sejarah dari Puchta dan Savigny, kenyataannya terus hidup pada era positivisme hukum. Mereka ini menolak paham Kelsenian yang memisahkan sistem hukum dari masyarakatnya. Kalimat mereka yang terkenal adalah “hukum ini tidak dibuat, melainkan tumbuh, berkembang dan lenyap bersama-sama dengan masyarakat (Rahardjo, 2006).

Positivisme hukum sendiri sebagai aliran yang menjunjung tinggi aturan hukum tertulis. Aliran ini juga berpandangan bahwa perlu adanya pemisahan yang tegas antara hukum dan moral, antara hukum yang berlaku dengan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen.

Satjipto Rahardjo memaparkan ciri postivisme hukum: (a) hukum adalah perintah; (b) analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, historis dan penilaian kritis; (c) keputusan-keputusan dapat dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas; (d) penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian dan pengujian; (e) hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan (Armia, 2003).

Dalam bentuk yang lebih konkret, para penganut mazhab positivisme hukum melihat hukum dari segi ’bentuk’ adalah undang-undang, dari segi ’isi’ adalah perintah penguasa, dan dari segi ’persyaratan’ terdiri dari sanksi, perintah, kewajiban dan kedaulatan. Dalam perkembangan mazhab positivisme hukum mendapat dukungan dari mazhab utilitarianisme, dengan pendukung utama Jeremy Bentham (pemikir hukum berkebangsaan Inggris) (Laudjeng & Simarmata, 2000).

Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, berbagai makna, secara lebih tajam, Kelsen menyebut bahwa hukum adalah suatu perintah (Tamanaha, 2001). Makanya hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir moral, sosiologi, politik, dan sebagainya. Alur pikir Hans Kelsen yang hendak memisahkan unsur nonhukum dari hukum. Teori Kelsen tentang Hukum Murni berinduk pada Neokantianisme (Rahardjo, 2006). Kelsen menyatakan bahwa ilmu hukum tidak boleh dipengaruhi oleh unsur-unsur psikologis maupun sosiologis (Cahyadi & Manullang, 2008).

Hukum berurusan dengan forma bukan materia. Keadilan sebagai isi hukum berada di luar. Hukum dapat saja tidak adil tetapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa. Hukum itu tidak pernah berupa pelanggaran, tetapi hanyalah ilmu pengetahuan. Reine Rechtslehre dari Kelsen berusaha untuk mencari ketentuan-ketentuan yang secara teoritis (sebagai objek tunggalnya) dapat diketahui tentang hukum, dari macam hukum apa saja, dari waktu apa saja, dan keadaan apa saja (Saifullah, 2007).

Dengan demikian, satu hal yang tidak dibicarakan konteks di atas adalah moral. Dalam makna yang disebut, tidak dikenal apa yang disebut sebagai moral itu. Hubungan moral dan hukum, sudah pernah diuraikan dalam kolom. Hans Kelsen menegaskan, masalah hukum sebagai suatu masalah keilmuan, adalah masalah teknik sosial, bukan masalah moral (Kelsen, 2006).

Moral yang dibicarakan berasal dari bahasa Latin “mos-moris”, yang artinya adat kelakuan atau  kebiasaan. Moral secara istilah luas disebut pula kesusilaan (etika), akhlak. Isinya, laku susila yang mendasarkan norma, inspirasinya dari wahyu Yang Ilahi. Moral, bidang yang berkaitan dengan tindakan adil dan tidak adil, baik dan tidak  baik, dalam saling menghormati sesama manusia. Moral disebut pula kesusilaan atau etika yang menyangkut tindakan, laku manusia sebagai subjek berakal budi, dan berkehendak bebas dalam relasinya dengan sesama manusia sebagai makhluk sosial. Isi moral adalah refleksi akal budi jernih dan olahan nurani jernih manusia mengenai adil, baik buruk tindakannya atau lakunya sebagai manusia. Ukuran tindakannya adalah kemanusiaannya, yang tiap peradaban, agama memberi legitimasi  kultural, legitimasi logis, legitimasi teologis untuk keberlakuannya (Sutrisno, 2005).

Mudji Sutrisno menguraikan dalam bentuk kongkret, bila sila kedua Pancasila diacu untuk keberlakuan praksis kesusilaan bermasyarakat dan bernegara, maka nilai kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi dasar moral individual maupun sosial pribadi-pribadi manusia Indonesia. Pengertian moral menjadi terang bila dikontestrialisasikan dalam konstruksi kata  norma moral yang dibedakan dengan norma perilaku serta norma hukum. Letak kualitas kata norma moral ada pada sanksi terhadap pelaksanaannya yang menyangkut kemanusiaan seseorang, menentukan ke-siapa-an kualitas individu pelaku sebagai manusia atau tidak ketika melanggarnya, memberi ukuran harkatnya terhadap pelaksanaan norma moral (Sutrisno, 2005).

Leave a Comment