Ajaran Moralis

Perbincangan moral, moralitas, moralis, tentu sangat kompleks. Idealnya, dengan perbedaan yang terjadi baik dalam makna bahasa maupun istilah –sesuatu yang dalam filsafat sudah diberi ruang-ruang berpikir dengan baik agar berbagai konsep terjelaskan secara tuntas. Saya …

Perbincangan moral, moralitas, moralis, tentu sangat kompleks. Idealnya, dengan perbedaan yang terjadi baik dalam makna bahasa maupun istilah –sesuatu yang dalam filsafat sudah diberi ruang-ruang berpikir dengan baik agar berbagai konsep terjelaskan secara tuntas.

Saya merujuk pada satu artikel yang ditulis Kusnu Goesniadhie, “Perspektif Moral Penegakan Hukum yang Baik”. Dalam artikel tersebut, Kusnu Goesniadhie  memetakan hukum dan moral, dengan menyebutkan bahwa hukum bersifat institusional, sementara moralitas bersifat kontroversial dan personal. Hukum bersifat otoriter, mengatasi masalah dengan tindakan otoriter pula. Sedangkan moralitas berbeda dan mandiri, ia selalu terbuka terhadap adu argumentasi untuk mencapai kata-kata yang sama. Di samping itu hukum bersifat heterogen yang mengikat kita tanpa kecuali, sementara moralitas bersifat otonom yang mengikat kita dengan keputusan dan keinginan sendiri.

Dalam artikel tersebut, sejumlah sisi dibahas, antara lain dalam teori perkembangan moral, perkataan moralis diartikan dengan ajaran kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan, sedangkan etika merupakan suatu ilmu yang membicarakan tentang perilaku manusia, perbuatan manusia yang baik dan yang buruk. Untuk membedakan kedua pengertian tersebut, dikenal dengan kata moral untuk menunjukkan perbuatan (moral act), sedangkan penyelidikan tentang moral sering diungkapkan sebagai ethical code. Etika lebih bersifat teori, sedangkan moral lebih menunjukkan praktek (Goesniadhie, 2010; Burhanuddin, 1997).

Menurut Goesniadhie, dalam hukum, terdapat suatu moralitas hukum yang spesifik, yang terdiri atas pencerminan pendapat-pendapat moral yang terdapat dalam masyarakat pada umumnya dan yang dikembangkan dalam praktik di bidang hukum dan yang terikat dalam lembaga-lembaga dan ajaran-ajaran hukum. Moralitas hukum ini merupakan bidang khusus para ahli hukum dan para sarjana hukum. Seringkali moralitas ini harus dilindungi terhadap pendapat mayoritas dan terhadap kepentingan-kepentingan politik dan sosial yang penting, misalnya, asas proses hukum yang wajar dalam pengadilan-pengadilan terhadap intervensi politik.

Berbagai penjelasan di atas, meneguhkan peta hukum dan moral dalam makna yang lebih dalam. Di satu sisi, ada perkembangan yang memisahkan keduanya. Namun dalam sisi yang lain, ada potongan perkembangan pula yang beranggapan keduanya sebagai sesuatu yang dibutuhkan –bukan dalam makna yang terpisah.

Hal semacam ini bisa didalami bagaimana misalnya pemikiran Immanuel Kant menegaskan keutamaan moral sebagai sesuatu yang sangat penting, eksistensi melampaui hukum positif dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Bahwa hukum bukanlah sekedar mekanisme dan prosedur-prosedur saja, melainkan sebuah tatanan nilai yang tersusun dalam seperangkat norma-norma hukum. Darimana semua asal nilai tersebut, tentunya berasal dari aspek manusia yang paling metafisis, nalar akal budi, jiwa, dan roh manusia (Marwan, 2009).

Cara berpikir di atas, bisa dijumpai antara lain pada buku-buku Profesor Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif. Konsep yang nyata-nyata menegaskan bahwa hukum dan moral sebagai sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Walau dalam perkembangan awal diskursus melahirkan debat tersendiri, dunia hukum kini sudah terbiasa dengan gagasan hukum progresif.

Hal yang dapat ditangkap bahwa hukum tidak mungkin melepaskan diri dari moral, berangkat dari gagasan yang disebut terakhir. Pada saat yang sama, hukum juga diinginkan berada dalam wilayah kepastian semata. Namun diingatkan Kusnu Goesniadhie bahwa karena pada dasarnya hukum yang baik adalah hukum yang mampu mengakomodasi dan membagi keadilan pada orang-orang yang diaturnya. Hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup.

Leave a Comment