Istilah ideologi pembangunan, barangkali dapat memicu debat tersendiri. Menggabungkan konteks ideolologi, pembangunan, lalu dengan hukum kita –khususnya dalam wujud modernisasi hukum. Hal yang harus dipahami, saya kira, terkait dengan gagasan pembangunan-isme yang digunakan, terutama pada awal Orde Baru. Pada saat itu, pembangunan –dalam makna modernisasi—dipandang sebagai jalan yang harus dilalui bagi bangsa Indonesia yang mulai membangun.
Pembangunan yang semacam itulah, kemudian diimbangi dengan hukum model apa yang dibutuhkan. Para ahli hukum di kemudian hari sepertinya sudah memperhitungkan kondisi yang disebutkan. Dalam domain ini, saya ingin mengaitkan dengan hukum adat, yang kemudian para ahli hukum yang memperhitungkan hari-hari pembangunan di kemudian, menyebutnya dengan istilah ilmu hukum adat modern.
Walau proses hukumnya tetap dilakukan, Moh. Koesnoe pernah menggambarkan bahwa mempelajari ilmu hukum adat modern yang dipelopori Van Vollenhoven dan kemudian dikembangkan untuk menjadi ilmu hukum positif (jurisprudence), yang bagi kalangan yang telah mempelajari Hukum Barat akan merupakan bahan banding yang menarik. Menurutnya, dari segi itu, Ilmu Hukum Adat Modern dewasa ini lebih merupakan suatu “Westerse vertolking” (penyajian Barat) mengenai hukum adat dan bukan penyajian ilmu hukum adat yang berjiwa Indonesia (Koesnoe, 1992).
Khusus posisi perkembangan di Indonesia kemudian menarik, terutama setelah berlangsung babak periode pembangunan dan pembangunaisme –yang di atas saya sentuh dan oleh kalangan penguasa awal menyebut sebagai kebutuhan. Ketika awal Orde Baru, hukum difungsikan sebagai sarana social engineering (Pound, 1950). Pada saat yang sama, konsep yang tersedia adalah yang berasal dari masyarakat Barat. Sementara fungsi hukum dalam masyarakat Barat belum tentu dapat diterapkan seutuhnya pada masyarakat Indonesia (Soekanto, 2012).
Ada beberapa kondisi yang harus dipahami, yakni: (a) secara kronologis, masyarakat Indonesia hidup dalam masa yang sama dengan masyarakat Barat; (b) sebagian daripada sistem hukum Indonesia berasal dari masyarakat Barat (khususnya Belanda, dan secara tidak langsung Perancis); (c) kemajuan yang pesat di bidang komunikasi memperbesar kemungkinan terjadinya proses difusi dan akulturasi; (d) adanya cita-cita akan persamaan derajat dari manusia di mana pun dia berada; (e) melalui elitenya yang telah mengalami pendidikan Barat, konsepsi-konsepsi tentang negara kesejahteraan mempengaruhi cita-cita masyarakat Indonesia di bidang kenegaraan (Soekanto, 2012).
Hukum Belanda dan Perancis ada hubungan dengan hukum positif Indonesia dikarenakan Indonesia dan Belanda terdapat pertautan sejarah, sebagai akibat penjajahan Belanda. Apabila ditelusuri, hukum Belanda sendiri berasal dari hukum Perancis. Kodifikasi hukum Perancis terbentuk pada tanggal 21 Maret 1804 dengan nama “Code Civil des Francais. Pada tahun 1807 diundangkan lagi dengan nama “Code Napoleon”. Mengenai asal hukum ini, karena Perancis menjajah Belanda pada tahun 1806-1813, sehingga di sana juga berlaku Code Perancis. Setelah Belanda merdeka pada tahun 1813, maka berdasarkan Pasal 100 UUD Belanda tahun 1814, dibentuklah suatu panitia yang bertugas membuat rencana kodifikasi hukum Belanda. Kodifikasi hukum perdata baru diresmikan tahun 1838 (Hartono, 1991).
Dengan memahami uraian di atas, bukankah konsep pembangunan itu secara langsung memang berhubungan dengan konsep hukum? Bahkan bagaimana pembangunan yang dioperasionalkan –seperti kepentingan yang disebutkan di atas—dengan sadar menggunakan hukum sebagai jalan “menyelamatkannya” –sebuah istilah yang bisa saja berlebihan. Modernisasi hukum kita, dalam ideologi ini, dengan demikian menjadi pilihan yang tidak terhindarkan.