Ajaran hukum, menyediakan sejumlah asas atau prinsip yang menegaskan setiap orang memiliki hak yang sama dalam hukum dan berhukum. Secara tegas, konstitusi kita menegaskan “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, menegaskan hal itu.
Salah satu satu asas sebagai ajaran bagi orang-orang yang belajar hukum adalah kedudukan yang sama di depan hukum. Dalam buku Profesor Irwansyah, Kajian Ilmu Hukum, menyebutkan asas sebagai dasar lahirnya kaidah hukum dan sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik hukum (Irwansyah, 2020). Dengan demikian, asas kedudukan yang sama di depan hukum dapat dipandang sebagai pemandu bagi lahirnya pengaturan kongkret konstitusi yang berbunyi “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Satu catatan penting yang sesungguhnya juga bisa ditegaskan berdasarkan kajian Prof. Irwansyah, bahwa orang yang sudah belajar hukum, pasti akan menganggap tidak mungkin muncul asas hukum jika ia berpegang teguh pada asas yang ada. orang-orang yang suka menyebut adanya konflik hukum, sepertinya pada orang-orang politik yang menggunakan hukum sebagai alatnya.
Saya ingin melihat dalam wujud pemaknaan yang kongkret, lewat catatan historis, Dalam menjelaskan hukum, saya membutuhkan lebih banyak pengetahuan yang secara historis menentukan dalam melahirkan ajaran-ajaran hukum kemudian hari.
Ada satu hal menarik disampaikan Tb. Ronny Rahman Nitibaskara dalam bukunya Tegakkan Hukum Gunakan Hukum. Dengan mengutip uraian seorang antropolog berkebangsaan Amerika yang bernama George Peter Murdock (1965) –yang aktif pada Yale University, ia mengulas seputar hukuman. Berdasarkan kajian Murdock, menemukan bahwa sepanjang sejarah dalam lingkup kajiannya, ditemukan setidaknya 165 jenis hukuman yang terdapat dalam masyarakat yang ditelitinya. Murdock termasuk dalam barisan empirisme –satu aliran yang berpandangan bahwa kebenaran diperoleh berdasarkan pengalaman.
Studi seputar kontak-kontak kebudayaan menjadi sangat penting pada awal abad ke-20. Integrasi dan kerja sama berbagai ilmu, seperti antropologi, sosiologi, dan psikologi, bahkan semakin gencar pascaperang dunia kedua (Kodiran, 1995). Apalagi dengan kajian Murdock yang fokus pada etnologi terutama terkait kajian lintas budaya modern. Bahkan tahun 1949, Murdock pernah melakukan suatu proyek ilmiah yang bernama cross-cultural survey –yang dalam sejarah teori antropologi diberi nama human relations files. Ia secara sistematis dan terklarifikasi ratusan kebudayaan dari beraneka ragam warna masyarakat di dunia (Baiduri, 2o2o; Koentjaraningrat, 2009).
Dengan berbagai kajian, temuan bagaimana penghukuman terjadi, sangat penting bagi orang hukum. Apalagi bersandar pada apa yang diungkapkan oleh Profesor Satjipto Rahardjo, banyaknya sanksi tersebut merupakan indikasi bahwa penghukuman terhadap warga negara sendiri yang bersalah merupakan ciri universal masyarakat di dunia (Rahardjo, 2011; Koentjaraningrat, 1964).
Perkembangan dalam ajaran hukum, mengingatkan kita agar menghukum harus berlandaskan hukum. Penghukuman yang dilakukan tanpa dasar hukum adalah tindakan yang sewenang-wenang. Tindakan yang sesuka-suka. Namun kewenangan itu sendiri dapat timbul meskipun penghukuman dilaksanakan benar-benar menurut hukum. Hal terjadi apabila hukum yang dijadikan landasan penghukuman nyata-nyata mendorong lahirnya kesewenang-wenangan (Nitibaskara, 2006).
Salah satu yang diuraikan Nitibaskara adalah diundangkannya zaman Yunani kuno. Pada tahun 621 sebelum masehi, penguasa kota (polis) Athena, Aeopagus, memerintahkan ahli hukum yang bernama Drako untuk membuat aturan-aturan (tesmoi). Setelah peraturan itu jadi, dipahat sepanjang dinding maklumat, di sepanjang stadion Eclesia. Masyarakat yang membacanya resah, karena hukum buatan Drako itu sangat keras dan dirasakan tidak adil. Dalam peraturan Drako tersebut ditetapkan, bahwa barang siapa kedapatan mencuri buah ara di taman milik bangsawan, dikenakan hukuman mati.
Bukankah undang-undang dalam sejarah ini sangat memihak aristokrat, dan otomatis menindas kepentingan rakyat kecil? Semenjak itu dalam khazanah hukum, bilamana muncul hukuman yang keras dan didiskriminasi, hukum tersebut dinamakan hukum Drako, atau Draconian law (Marzuki, 2006). Apabila hukum Drako diterapkan secara konsekuen, jelas akan melahirkan tindakan sewenang-wenang dalam penghukuman.
Dalam negara hukum kita, tindakan yang memperlihatkan seolah hukum hanya untuk kelas raja, jelas tidak sesuai dengan ajaran hukumnya.
(Sumber Foto: detik.com)