Menggunakan Hukum Bukan Untuk Hukum

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama 18 Lembaga Bantuan Hukum (LBH), sepanjang tahun 2020-2022 menanganai 199 kasus berkaitan dengan pelanggaran hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Sejumlah kasus yang terjerat dari jumlah di atas …

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama 18 Lembaga Bantuan Hukum (LBH), sepanjang tahun 2020-2022 menanganai 199 kasus berkaitan dengan pelanggaran hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Sejumlah kasus yang terjerat dari jumlah di atas adalah pengaturan pasal-pasal yang multitafsir (YLBHI, 2023).

Pasal-pasal multitafsir kerap digunakan untuk kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan politik maupun ekonomi. Sehingga keberadaan pasal-pasal semacam ini, sesungguhnya sangat merugikan para pihak. Masalahnya adalah ia tetap dipertahankan –bahkan sejak sebelum bangsa ini merdeka.

Pasal-pasal karet, atau pasal-pasal yang multitafsir, atau pasal-pasal yang menimbulkan pemaknaan ganda, sebenarnya sudah muncul sejak lama. Bahkan sejak Indonesia belum merdeka, ketika Hindia Belanda, juga menggunakan hukum, walau hukum yang digunakan kolonial. Dalam pemahaman hukum yang lebih luas, termasuk bagaimana konteks berhukum dalam aroma politik tertentu, sepertinya terus-menerus kondisi yang multitafsir itu dirawat. Hal ini, jika berangkat dari sosiologi hukum, dapat dibaca sebagai maksud tersembunyi dari berhukum.

Ada kondisi menarik yang disebutkan secara lugas oleh Nadia Nuraini Hasni, Faizal Arifin, dan Ella Nurlailasari. Menurut mereka, dalam negara kolonial, sistem hukum yang digunakan untuk memberikan legitimasi terjadap bentuk-bentuk eksploitasi, kolonialisasi, dan menjamin semua Tindakan kolonial terhadap masyarakat pribumi (Hasni, Arifin, & Nurlailasari, 2021). Dalam konteks ini, apa yang disebut sebagai nilai-nilai hukum pidana yang terdapat dalam sistem hukum kolonial, belum mampu memberikan keadilan (Nurahman & Soponyono, 2019).

Aturan-aturan untuk menanggulangi ujaran kebencian, penghinaan, permusuhan terhadap kolonial, yang disebut sebagai haatzaai artikelen, digunakan dengan ketat. Secara konsep, haatzaai artikelen ini istilah yang digunakan untuk menyebut pasal-pasal yang menyangkut penghinaan, kebencian, dan permusuhan terhadap pemerintahan atau golongan tertentu dalam KUHP Hindia Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie, WvS).

Menurut Rudy Satriyo, haatzai artikelen ini senantiasa menjadi perdebatan kontroversial di kapangan praktisi dan akademisi. Sejumlah pasal dalam KUHP lama antara lain Pasal 154, Pasal 156, dan Pasal 156a. Ketentuan tersebut tidak terdapat dalam Wetboek van Strafrecht yang berlaku di negeri Belanda. Ketentuan pasal karet ini tetap dipertahankan di Indonesia dasar hukum Undang-Undang No. 1 Tahun 1945. Ketentuan tersebut banyak digunakan dalam peradilan kasus-kasus politik. Padahal diyakini haatzaai artikelen sudah tidak sesuai dengan alam kemerdekaan, yang menghendaki kepastian hukum dan keadilan (Satriyo, 1996).

Keadaan hukum secara sehat menjadi sangat penting dipertahankan. Negara dan kekuasaan bukan sesuatu yang tidak boleh dikritik. Bahkan di negara lain, kritik justru sangat dijaga dan dipertahankan untuk mengontrol jalannya kekuasaan negara.

Dalam konteks Indonesia sendiri, Profesor Oemar Seno Adji pernah memberi batasan antara kritik yang diperkenankan dan yang dilarang, yakni: (1) kritik yang merupakan bagian dari expression of opinion, boleh mengantung suatu yang sifatnya tidak setuju terhadap Tindakan atau kebijaksanaan dari pemerintah; (2) kritik boleh mengemukakan pernyataan yang isinya tidak setuju atas rancangan undang-undang; (3) kritik dapat ditujukan pada kesalahan atau kekurangan yang Nampak pada lembaga-lembaga negara atau pada pejabat-pejabat umum; (4) kritik boleh menganjurkan pergantian pemerintah secara konstitusional; (5) kritik harus dilakukan dengan cara yang zakelizjk, sopan meskipun ia dikemukakan dengan nada yang keras; (6) kritik harus konstruktif sifatnya dan sedapat mungkin harus memberikan alternatif sebagai jalan keluarnya; (7) kritik akan berubah menjadi penghinaan formil apabila ia dilakukan dengan jalan kasar, tidak zakelizjk, dan tidak sopan; (8) kritik yang ditujukan terhadap pejabat umum atau pemerintah dapat menjadi penghinaan yang materiil tapi tidak akan menjadi penghinaan yang formal; (9) kritik tidak boleh dilakukan dengan actualica ataupun dengan menjelaskan dan meragukan motif dari orang yang hendak dikritik, menyinggung karakter dan kehidupan pribadinya (Satriyo, 1996).

Pendapat lebih dari dua dasawarsa yang lalu ini, barangkali juga bisa sebagai barometer, yang bisa dilihat dan dibandingkan dengan perkembangan zaman sekarang.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

(Sumber: karikatur Harian Republika)

Leave a Comment