Belajar dari Masa Lalu

Saya pernah menulis, untuk membedakan fitnah dan kritik. Idealnya, pejabat publik memang tidak boleh terlalu baper –istilah yang kerap digunakan dalam dunia yang harusnya memang butuh kritik. Apalagi dengan perkembangan media sosial yang begitu masif. …

Saya pernah menulis, untuk membedakan fitnah dan kritik. Idealnya, pejabat publik memang tidak boleh terlalu baper –istilah yang kerap digunakan dalam dunia yang harusnya memang butuh kritik. Apalagi dengan perkembangan media sosial yang begitu masif. Realitas hoaks berdampak negatif dan luas. Untuk kategori hoaks, membutuhkan perhatian khusus karena dampak bagi ruang publik tadi.

Jika dalam ruang sosial, munculnya fitnah dan pada sisi lain juga kritik, dapat dipandang sebagai salah satu yang tak terhindarkan. Dari sisi akademis, fitnah dan kritik itu sebagai dua hal yang berbeda. Namun jika tidak hati-hati, keduanya bisa dilihat dalam satu bentuk. Dalam konteks normal, keduanya bisa ditangani secara berbeda. Namun dalam kondisi yang tidak normal dan nuansa (politik) kepentingan, keduanya bisa dianggap sama dan menggunakan pasal yang sama dalam proses penaggulangannya.

Saya ingin membuka memori bagaimana proses penanggulangan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Tidak semua hal dapat digolongankan sebagai kritik. Lalu lintas hoaks yang sengaja dihembuskan oleh orang-orang atau sekelompok tertentu, tidak mungkin bisa digolongkan sebagai kritik. Namun sekedar catatan, bahwa tidak semua hal yang disampaikan itu sebagai fitnah. Keluhan masyarakat,  walau mungkin disampaikan tidak secara beraturan, harus ditempatkan sebagai kritik bagi pemerintah.

Kritik itu seyogianya dipandang positif. Dengan kritik, berbagai kelemahan bisa diketahui. Pada saat yang sama, apa yang hendak dilakukan, bisa dipermudah pemetaannya dengan adanya kritik (Tripa, 2020). Dalam negara-negara yang berindeks kesejahteraan tinggi, kadang-kadang rasa memiliki negaranya diperlihatkan dengan kritik. Kita harus memandang bahwa ada sesuatu yang salah ketika kritik itu sudah tidak ada.

Kita tidak bisa menutup mata, tetap ada yang tujuannya untuk menghina. Namun sekali lagi, sebagai catatan, tidak semua kritik lalu bisa langsung digolongkan sebagai menghina. Hal ini butuh pengujian yang rumit. Jika tidak hati-hati, hal ini akan mudah dijadikan sebagai alat untuk kepentingan kekuasaan.

Diskusinya tentu saja bukan pada posisi kritik dan hina tersebut, melainkan pada bagaimana kekuasaan memahami dan mengoperasionalkan keduanya. Dulu, Kapolri menerbitkan Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 yang antara lain berisi sanksi pidana terhadap masyarakat yang menghina presiden dan pejabat pemerintah di media sosial terkait pelaksanaan penanganan Covid-19.

Terkait dengan ST tersebut, harus dibarengi dengan keterukuran konsep, agar kepolisian terhindari dari hal-hal yang terjadi pada era kelam dulu. Pasal yang dijadikan rujukan untuk telegram ini adalah Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam pasal itu disebutkan bahwa barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Hal yang paling rumit akan dihadapi kepolisian adalah “menemukan” apa yang disebut menghina tersebut dalam realitas sosial. Jangan sampai masyarakat yang melakukan kritik, bagi penguasa yang merasa terganggu justru akan dianggap sebagai menghina. Sebaliknya sesuatu yang dianggap tidak terganggu, walau akan berdampak kepada pelaksanaan kekuasaan, justru tidak dianggap sebagai masalah.

Berkaca pada situasi saat pandemi Covid-19, sungguh bukan perkara mudah untuk menyelesaikan berbagai masalah di dalamnya. Apalagi dengan posisi bencana nonalam ini masuk dalam kategori bencana nasional di Indonesia –suatu kategori tertinggi, yang di negara ini hanya pernah terjadi pada tiga bencana, yakni gempa di Flores tahun 1992, tsunami Aceh tahun 2004, dan Covid-19. Seberat apapun, keterukuran pelaksanaan kekuasaan, termasu kekuasaan hukum, sama sekali tidak boleh diabaikan.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

(Sumber: katikatur Harian Kompas)

Leave a Comment