Belajar Putusan MK Delik Penghinaan

Pada tanggal 4 Desember 2006, sembilan Hakim Konstitusi memutuskan dengan menyatakan bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini dituang …

Pada tanggal 4 Desember 2006, sembilan Hakim Konstitusi memutuskan dengan menyatakan bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini dituang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Pemohon untuk perkara Nomor 013/PUU-IV/2006 adalah seorang advokat, Dr. Eggi Sudjana, S.H.,M.Si. Sedangkan pemohon perkara Nomor 022/PUU-IV/2006 dilakukan oleh Pandapotan Lubis, seorang wiraswasta.

Selain itu, Hakim juga menyatakan bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Undang-Undang Hukum Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sekaligus memerintahkan putusan tersebut dalam Berita Negara.

Sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Jimly Asshiddiqie sebagai Ketua merangkap Anggota, H.M. Laica Marzuki, H.A.S. Natabaya, Maruarar Siahaan, Abdul Mukthie Fadjar, H. Achmad Roestandi, Harjono, I Dewa Gede Palguna, dan Soedarsono, masing-masing sebagai anggota. Putusan diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal 6 Desember 2006.

Sidang ini, selain dihadiri sembilan Hakim Konstitusi, juga dihadiri oleh para Pemohon/Kuasa para Pemohon, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

Berdasarkan putusan tersebut, pengaturan delik penghinaan terhadap presiden/wakil presiden dianggap inkonstitusional. Putusan tersebut memberikan argumentasi yang kuat (strong argumentation) untuk menghapus delik penghinaan presiden/wakil presiden (Ramdan, 2020).

Argumentasi ini sendiri bisa dilihat dalam pertimbangan hakim yang menyebutkan bahwa Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD NRI 1945. Atas dasar itu, tidak relevan lagi jika dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidananya masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.

Putusan hakim ini sendiri bukan tidak ada perbedaan pendapat. Empat orang Hakim Konstitusi, yakni I. Dewa Gede Palguna, Soedarsono, H.A.S. Natabaya, dan H. Achmad Roestandi, memberi pendapat berbeda (dissenting opinions) terhadap putusan.

Menurut pendapat Hakim Konstitusi I. Dewa Gede Palguna dan Soedarsono, bahwa oleh karena ketentuan undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusional oleh kedua Pemohon adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, yang diatur dalam Bab II KUHP tentang Kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden, maka yang menjadi pertanyaan adalah: apakah norma undang-undang yang mengatur secara khusus ketentuan tentang penghinaan terhadap Presiden (dan/atau Wakil Presiden) bertentangan dengan UUD 1945? Misalnya ada pertimbangan yang diberikan, menurut sejarahnya, KUHP yang berlaku saat ini adalah berasal Wetboek van Strafrecht yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial Belanda di mana ketentuan tentang penghinaan terhadap lembaga Presiden (dan Wakil Presiden), menurut sejarah penyusunannya, adalah bertolak dari maksud untuk melindungi martabat Raja, apakah ketentuan demikian masih tetap relevan diterapkan juga terhadap Presiden (dan Wakil Presiden) saat ini? Pendapat yang diringkas, menjelaskan ruh dari seluruh ketentuan UUD 1945 sebagai satu kesatuan sistem adalah semangat untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum. Negara hukum dan demokrasi menghormati, melindungi, dan menjamin pemenuhan kebebasan atau kemerdekaan untuk menyampaikan pendapat – di dalamnya termasuk kemerdekaan untuk menyampaikan kritik terhadap Presiden. Tetapi, negara hukum dan demokrasi tidak melindungi pelaku penghinaan, terhadap siapa pun hal itu ditujukan. Pelaku penghinaan tidak dapat berlindung di balik kemerdekaan menyampaikan pendapat. Konstitusi menghormati, melindungi, dan menjamin setiap orang yang bermaksud menyampaikan pendapatnya, tetapi tidak untuk pelaku penghinaan.

Sementara Hakim Konstitusi H.A.S. Natabaya dan H. Achmad Roestandi berpendapat, dengan mempertanuakan permohonan pemohon, hakim menghubungkan dengan tiga hal, yakni (a) bagaimana kedudukan Presiden menurut UUD 1945; (b) bagaimana status Presiden sebagai subjek hukum menurut Hukum Tata Negara Positif (het Stellig Staatsrecht); (c) bagaimana keberadaan Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP dihubungkan dengan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945. Misalnya terkait dengan pasal peralihan, menurut pandangan hakim, misalnya persamaan di muka hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, tidaklah berarti bahwa tiap undang-undang harus berlaku terhadap semua orang yang karena sifatnya, pencapaiannya atau keadaannya memang berbeda satu sama lain. Dan apabila hal itu diperlukan, sepanjang terdapat alasan yang sah menurut hukum (reasonable) dan tidak sewenang-wenang (arbitrary), maka pembedaan perlakuan terhadap orang tertentu tidak merupakan sesuatu yang bertentangan dengan UUD.

(karikatur: Jawa Pos)

Leave a Comment