Kita pernah mendengar istilah level dalam konteks menyandingkan antara satu orang dengan orang lain. Orang yang sedang emosi, kemarahan yang mungkin di ubun-ubun, menyebut orang lain bukan levelnya. Istilah level di sini, untuk mengklasifikasikan strata. Orang lain yang disebut, ingin diposisikan sebagai strata lebih rendah dari yang bersangkutan. Strata demikian, bisa juga terbagi dalam masing-masing konteks. Antara yang satu dengan lain konteks, bisa saja akan bisa dimaknai secara beragam pula. Ada yang menyebut level terkait dengan jam terbangnya dalam bidang tertentu.
Seorang politisi senior yang menyebut untuk orang lain bukan levelnya dalam hal pengalaman kepolitisiannya. Penulis terkenal menyebut orang yang baru sebagai bukan levelnya dalam dunia kepenulisan –walau ada penulis yang sangat santun tidak membawa-bawa level dalam pengalaman. Atau mereka yang sangat terkenal menyebut orang lain tidak dikenal bahkan oleh orang kampungnya. Terakhir dan sering menohok, level pada kepunyaan kekayaan ekonomi. Orang sangat mudah menyebut orang yang dari segi ekonomi kurang sebagai bukan levelnya. Level yang disebut terakhir ini, sering dibandingkan dimana seseorang makan sehari-hari, dibandingkan dengan mereka yang dibandingkan. Sebagian makan di restoran mewah, sedangkan yang lain bisa jadi di warung pinggiran jalan yang berharga murah. Ada yang selalu naik mobil mewah, diantar sopir dengan penjaga kiri dan kanan, sedangkan yang lain naik angkutan kota, dan semacamnya.
Dalam dunia akademis, level ini juga sering dimunculkan –semangat yang seharusnya tidak boleh muncul. Pertimbangannya sangat sederhana. Semua yang kita alami dan tekuni akan terus berkembang sedemikian rupa. Orang yang mungkin suatu waktu kita sebut bukan level kita, bisa jadi pada waktu yang lain, posisinya akan berada jauh tinggi di atas kita. Ketekunan seseorang akan membuka peluang lebih besar untuk mencapai suatu keberhasilan –tentu istilah yang dalam kenyataannya juga berbeda-beda. Orang yang sudah mapan dalam konteks pengetahuan, lalu ia berhenti, maka berpeluang untuk ditelikung (dalam makna positif) oleh orang lain, sehingga yang tadinya di puncak, bisa jadi akan menurun kualitasnya. Dalam konteks politik dan dunia kuasa, jabatan dan kekuasaan bukanlah sesuatu yang abadi. Ia berkemungkinan berpindah tangan kapan saja. Apalagi jika kita yakin bahwa kekuasaan dan jabatan sudah ditentukan oleh Pencipta.
Ketika menyebut level lebih rendah kepada orang lain, tidak hanya dapat dibaca melalui teks atau ucapan nyata. Memosisikan level tertentu kepada orang lain, dapat saja dimaknai dari bagaimana seseorang memperlakukan orang lain. Ingatlah merendahkan orang lain –dalam arti merendahkan melalui penabalan levelnya yang lebih rendah, bisa dibaca bagaimana keakuan kita dalam keseharian. Orang yang berilmu harus mampu menundukkan hal ini, untuk mewujudkan suatu kearifan yang sangat dibutuhkan. Dalam hal ini, kadangkala orang berilmu harus membedakan diri dari profesi yang lain. Jika banyak profesi saling berlomba dan memungkinkan saling merendahkan melalui penabalan level, maka seyogianya hal itu tidak berlangsung dalam komunitas orang-orang berilmu.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.