Saya menonton Film Dirty Vote. Film yang prosesnya bisa jadi sederhana, namun isinya sangat mendasar. Ia mempercepat degub jantung para orang-orang yang diurai di dalamnya. Film yang berdurasi 1 jam dan 57 menit, dengan disutradai Dandhy Dwi Laksono, mengungkap ketidaknetralan pejabat publik dalam penyelenggara negara –terutama pemilihan umum. Pengerahan pejabat publik hingga desa, anggaran dan penyaluran bantuan sosial, dan penggunaan fasilitas publik, merupakan data-data kecurangan pemilu yang dibuka.
Awalnya film ini dirilis melalui YouTube Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia. Tiga pakar tata negara di dalamnya berbicara: Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. Saya pernah berjumpa dan berdiskusi dengan ketiganya, dalam sejumlah pertemuan ilmiah atau diskusi-diskusi tertentu yang saya ikuti. Termasuk dengan Dandhy Dwi Laksono –jurnalis penting yang pernah berdiam dan beraktivitas di Aceh.
Saya ingin mengingatkan betapa potensi kekuasaan menggunaan kekuatan tertentu dalam kekuasaannya. Indonesia sudah merasakannya di ujung Orde Baru. Bahkan dalam era yang dianggap pemimpinannya paling merakyat, UU ITE dalam membungkam suara publik sudah sering digunakan. Saya setuju seperti yang disebutkan M. Syafi’ie, terjadi kondisi kekuasaan sebagaimana risil masyarakat sipil berupa pembungkaman terhadap rasa kritis, represi aparat, penggembosan parlemen dengan merangkul lawan-lawan politik, pengendalian partai politik, dan pembuatan regulasi yang menghilangkan partisipasi bermakna (Syafi’ie, 2024).
Pada rezim yang lalu juga, menggusur rakyat dalam pembangunan infrastruktur terjadi, pelemahan lembaga antikorupsi, hilangnya fungsi check and balances DPR, utang negara yang terus menumpuk, dan pembungkaman ormas-ormas keagamaan melalui izin pengelolaan tambang yang tidak tepat (Syafi’ie, 2024).
Jangan-jangan, seperti yang dengan gamblang diungkapkan Dirty Vote, kita sedang berada pada negara yang menegaskan kekuasaan –sebuah posisi dan kondisi yang berlawanan dengan negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi kita. Sebuah potret waktu itu disebut Feri Amsari hingga mencapai pada titik politik gentong babi –politik yang terjadi tahun 1800an di Amerika Serikat era perbudakan. Siasat gentong babi biasanya dilakukan oleh tuan tanah untuk mengambil hati para budaknya. Politik gentong babi, ketika daging babi yang diawetkan dengan garam disimpan dalam gentong, kemudian dilemparkan oleh tuannya kepada para budak yang diperkerjakannya. Dengan pemberian ini, para budah terus berdoa kepada tuannya karena diberikan makanan. Lalu mereka akan terus bekerja sebagai budak untuk tuannya itu.
Berdasarkan Amsari, pola-pola tertentu dekat dengan politik gentong babi ini. Penunjukkan penjabat kepala daerah yang menguntungkan calon tertentu, lalu membagi-bagikan bantuan sosial mendekati hari pemilihan dan dilakukan calon tertentu saja. Termasuk menaikkan gaji pihak tertentu ketika mendekati hari pemberian suara.
Dalam negara hukum, seharusnya kondisi tersebut tidak boleh terjadi. Merujuk pada satu ilmuwan penting, AV Dicey, menyebut sebuah syarat dari negara hukum itu, antara lain supremasi aturan-aturan hukum, tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang, kedudukan yang sama di hadapan hukum, jaminan hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan.
Bukankah dalam pertarungan kekuasaan politik, semua syarat tersebut semakin berat untuk dipenuhi? Pada kontestan sepertinya tidak peduli dengan proses –sebagai inti dari apa yang disebut sebagai negarawan. Saat hal ini tidak bisa diteguhkan, bukan saja para penguasa politik sedang membawa kita dalam lembah yang hina, melainkan dengan sadar menghancurkan apa yang sudah bersusah dibangun oleh para tokoh pendiri bangsa? Momentum ini, kita harus selalu mengingat kembali jasa arwah para pahlawan yang telah mendahului kita. Al fatihah.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.