Hukum dan Keadilan

Terma keadilan untuk semua (justice for all), sungguh bukan sesuatu baru. Ada sudah dibicarakan sejak 24 abad yang lalu. Para filsuf dan intelektual pun berdebat sepanjang sejarah tentang apa yang disebut keadilan. Sekitar 2.400 tahun …

Terma keadilan untuk semua (justice for all), sungguh bukan sesuatu baru. Ada sudah dibicarakan sejak 24 abad yang lalu. Para filsuf dan intelektual pun berdebat sepanjang sejarah tentang apa yang disebut keadilan. Sekitar 2.400 tahun silam, Socrates mendefinisikan keadilan sebagai kebajikan. Adil bukan hanya tentang perbuatan bijak seseorang, melainkan juga perbuatan dengan kesadaran bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah kebaikan. Pandangan Socrates ini disebut sebagai “etika eudaimonia”. Selama beberapa abad, aliran Eudaimonisme mendominasi filsafat moral. Di era modern, filsafat moral yang sebelumnya membahas individu bertransformasi menjadi pembahasan tentang perilaku negara. Dilema-dilema moral yang didiskusikan bukan lagi –atau bukan hanya—tentang keputusan seseorang untuk dirinya, melainkan bagaimana keputusan itu berdampak bagi orang banyak (Assyaukanie, 2024).

Dalam artikel yang lain, soal keadilan juga disebutkan sangat penting. Di dalam filsafat, keadilan merupakan salah satu persoalan mendasar. Keadilan merupakan salah satu jenis nilai yang bersifat abstrak sehingga sulit untuk diukur. Pemahaman akan keadilan hanya dapat diperoleh dengan menjadikannya sebagai perwujudan hukum. Sarana pemenuhan keadilan di masyarakat, umumnya melalui sistem peradilan yang tidak tebang pilih. Dalam konteks ini, penegakan nilai keadilan kepada seluruh manusia juga merupakan salah satu misi suci dari agama. Islam jelas sekali menekankan keadilan dalam hukum. Meski kepada musuh sekalipun, harus menerima keadilan (Ziadi, 2022).

Bahkan dalam kitab suci, posisi keadilan ini diingatkan. Dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 8, menyebutkan: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kami jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan, misalnya seberapa pentingkah keadilan itu ada dalam hukum? Para sarjana hukum kerap pula mempersoalkan apakah keadilan itu ada dalam proses pembuatan hukum atau dalam penegakannya? Lalu dalam proses pembuatan itu, apakah semua aliran hukum berpandangan bahwa hukum selalu dibentuk?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu selalu muncul. Namun Agus Santoso, dalam bukunya, Hukum, Moral, & Keadilan, Sebuah Kajian Filsafati, menyampaikan pandangannya bahwa dalam penegakan hukum, hukum itu harus adil, sedangkan adil itu sendiri bersifat subjektif, tidak disamaratakan terhadap semua orang. Untuk menerima adil, kuncinya adalah ikhlas, sedangkan ikhlas itu harus bisa menahan diri atau berlaku sabar, kemudian untuk bisa melakukan kesabaran harus tawakkal kepada Tuhan Yang Masa Esa (Santoso, 2014).

Menurut Theo Huijbers, hukum itu sendiri sangat erat hubungannya dengan keadilan. Bahkan ada orang yang berpandangan hukum itu harus digabungkan dengan keadilan, supaya sungguh-sungguh berarti sebagai hukum. Pernyataan ini ada sangkut pautnya dengan tanggapan bahwa hukum merupakan bagian usaha manusia menciptakan suatu ko-eksistensi etis di dunia ini. Hanya melalui suatu tata hukum yang adil, orang-orang dapat hidup dengan damai menujui suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani. Kebenaran itu paling tampak dalam menggunakan kata “ius” untuk menandakan hukum sejati. Namun ungkapan “the rule of law” mempunyai latar belakang yang sama juga, yakni cita-cita akan keadilan (Huijbers, 1995).

Dalam karyanya yang lain, Theo Huijbers juga menguraikan bahwa keadilan merupakan sendi yang terakhir sebagai tujuan hukum. Agar keadilan itu tercapai sesuai dengan keadilan yang ada dalam masyarakat, maka hukum yang diciptakan harus bersendikan pada moral, karena sebenarnya hukum termasuk moral, artinya bahwa undang-undang dan semua norma hukum harus sesuai dengan norma-norma moral (Santoso, 2014; Huijbers, 1986).

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment