Malam Puasa 28, Belajar Mengelola Nafsu

Pengelolaan nafsu berelasi dengan pencapaian kualitas kehidupan. Nafsu juga penting, makanya harus dikelola. Seorang penceramah yang saya kenal, mengingatkan betapa pentingnya nafsu, misalnya nafsu makan, termasuk nafsu seksual terhadap lawan jenis. Wujud pengelolaannya dengan mengatur …

Pengelolaan nafsu berelasi dengan pencapaian kualitas kehidupan. Nafsu juga penting, makanya harus dikelola. Seorang penceramah yang saya kenal, mengingatkan betapa pentingnya nafsu, misalnya nafsu makan, termasuk nafsu seksual terhadap lawan jenis. Wujud pengelolaannya dengan mengatur ruang dan batasannya dengan baik. Pengelolaan ini yang berdampak pada kualitas kehidupan.

Saya kira setiap orang wajib berusaha untuk mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik. Inilah konteks yang saya tangkap bahwa hidup ini sebenarnya ruang belajar. Orang menyadari selalu melakukan kesalahan, dengan kualitas yang lebih baik, orang tersebut berusaha tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukannya.

Saya yakin orang-orang yang sehat pasti akan menjawab kebutuhan kualitas hidup baik. Hanya orang-orang yang tidak waras yang berpikir sebaliknya: kualitas kehidupan yang buruk. Bahkan orang-orang yang menyadari telah melakukan kesalahan, selalu terpikir tentang sesal. Ada tarik menarik dengan hal yang lain lagi. Makanya secara prinsip, setiap orang berkeinginan kepada kehidupan yang berkualitas. Hanya orang-orang yang tidak sehat jiwa dan raganya yang berpikir sebaliknya: berpikir untuk kehidupan yang buruk.

Orang yang tidak sehat jiwa sudah tidak ada hukum apapun yang berlaku pada dirinya. Orang-orang yang sehat namun tidak melaksanakan makruf sesuai garisnya, akan disindir sebagaimana orang-orang yang sedang tidak sehat jiwa tersebut.

Inilah yang harus dipahami semua orang. Hidup ini, adalah proses belajar. Dari ayunan hingga ke liang lahat, manusia tidak boleh berhenti untuk terus belajar tersebut. Terutama untuk hal-hal yang akan menopang bagi kehidupan manusia itu sendiri, baik ketika ia hidup di dunia, maupun setelah kehidupan dunia.

Beranjak dari situasi ini, maka sesungguhnya tidak ada istilah ada orang-orang yang sudah selesai hidupnya. Mereka yang merasa sudah memiliki materi, selalu ingin mencapai berbagai keinginan lain yang tiada habisnya. Demikian juga dengan orang yang sudah punya jabatan, selalu ingin mencapai level selanjutnya. Terserah maksud masing-masing, untuk apa seseorang itu menggunakan jabatannya.

Pada dasarnya, karena semua yang kita alami harus terus berproses ke arah yang lebih baik, dan belajar adalah salurannya, maka selalu ada pertanggungjawaban. Manusia harus selalu memiliki akuntabilitas terhadap apa yang dilakukannya. Pada saatnya nanti, semua yang kita punya, akan ada pertanggungjawaban. Materi yang kita punya akan ada suatu mahkamah nanti, yang mempertanyakan dari mana sumber materi didapat, dan kemana ia digunakan. Ketika mendapatkan jabatan, apa yang kita lakukan dan sejauhmana kita laksanakan dengan selurusnya. Demikian juga dengan berbagai hal yang kita punya, termasuk dari tubuh kita. Semua akan menghadapi kondisi untuk mempertanggungjawabkannya.

Proses saling mengingatkan juga masuk bagian ini. Orang-orang yang tidak mengingatkan yang di sekelilingnya, padahal mereka melakukan kemungkaran, harus diingatkan untuk kembali ke jalan lurus. Ruang untuk mengingatkan itu bisa berbagai cara.

Saya teringat apa yang sering dilakukan di kampus kami. Sudah menjadi agenda rutin, setiap Jumat bulan puasa, selalu ada ceramah dari penceramah yang diundang. Praktis, dalam bulan ini ada tiga penceramah yang bisa dihadirkan, karena Jumat terakhir sudah masuk dalam masa cuti. Saya ingin ungkapkan bahwa masing-masing penceramah, terutama sekali berangkat dari ilmu yang dipelajari. Masing-masing bidang, dalam melihat masalah juga berangkat cara pandang yang berbeda. Ada hakikat yang sama, dengan melihat realitas ini, bisa jadi ada yang berbeda, baik pada cara menjelaskan, maupun cara pandang secara keseluruhan. Mengenai perbedaan ini banyak kita jumpai dalam masyarakat, sebagai akibat dari berbedanya sumber yang didapat. Bahkan beberapa orang yang mempelajari satu cabang ilmu yang sama, mendapatkan ilmunya dari orang yang berbeda, berkemungkinan ada perbedaan cara pandang dalam melihat sesuatu hal. Perbedaan ini sendiri terjadi tidak hanya dalam lingkup hukum sunat, melainkan juga ada yang wajib, dan sebagainya. Perbedaan juga terjadi dalam konteks-konteks yang dianggap sederhana, namun juga terjadi dalam suatu hal yang kompleks. Tentu, perbedaan dalam wilayah yang kompleks sangat bisa dipahami mengingat berbagai kompleksitas memperlihatkan adanya hubungan satu sama lainnya.

Saya tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk membahas bagaimana dan mengapa terjadi perbedaan itu secara lebih mendalam. Namun ketika mendengar beberapa hal penting, sejumlah pertanyaan selalu tidak bisa dihindari. Pertanyaan itu, antara lain ketika membandingkan dengan yang pernah kita dengar dari penceramah yang lain lagi. Satu sisi yang dibicarakan misalnya mengenai hawa nafsu. Ada sejumlah pertanyaan, misalnya sesungguhnya bagaimana menemukan dan mengendalikan hawa nafsu itu? Apakah hawa nafsu itu memang tampak apa adanya? Bagaimana jika hawa nafsu itu harus ditilik dengan analisis melalui ciri-cirinya? Apakah yang berangkutan bisa membedakan sesuatu dari apa yang dilakukan itu nafsu atau bukan?

Pada dasarnya, nafsu itu adalah jiwa. Ada dorongan atau keinginan untuk melakukan sesuatu. Namun ketika dorongan itu sudah melewati jalurnya, ia akan mengarah ke hal yang negatif. Seyogianya, ketika melakukan sesuatu, kita bisa membanding-bandingkan yang namanya nafsu yang negatif atau bukan. Dalam hal fisik lebih mudah ditentukan, lantas bagaimana dengan sesuatu yang batin. Inilah yang harus dijaga. Sumber nafsu yang negatif itu tidak selalu dari yang tidak dibolehkan. Ia bisa saja dalam lingkup yang diperbolehkan pada awalnya. Jadi nafsu yang dimaksudkan di sini lebih diarahkan kepada nafsu yang negatif. Dalam konteks ini, ketika orang menyebut kata nafsu, orang-orang yang mendengarnya langsung terarah pemahamannya kepada nafsu yang negatif.

Jika seseorang mengingatkan kita, bahwa apa yang kita lakukan untuk membedakan sesuatu yang normal, selalu disebut dengan nafsu –yang maksudnya seperti di atas bahwa nafsu dalam konteks negatif. Sesuatu yang berlebihan, misalnya disebut dengan nafsu. Belum lagi mengendalikan berbagai jiwa yang berlawanan dengan keberadaan kesabaran dalam diri manusia. Jadi nafsu yang disebut di sini, selalu ditangkapi sebagai sesuatu yang negatif. Untuk hal ini, konteks pemahaman masyarakat demikian harus dipahami juga agar apa yang disampaikan menjadi terkoneksi dengan apa yang dipahami oleh masyarakat yang bersangkutan.

Ada keseyogiaan menahan diri yang harus dikuatkan dalam rangka menjaga hawa nafsu ini tetap pada jalurnya. Nafsu terkait keinginan, nah keinginan yang tidak terkontrol inilah yang sering membawa manusia ke dalam suatu lembah malapetaka pada akhirnya. Mudah-mudahan kita dilindungi dari nafsu negatif itu.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment