Aceh Masa Lalu

Melihat Aceh, kita bergeser sedikit ke belakang, ke masa lalu, antara lain sebelum Indonesia merdeka. Ketika Aceh menjadi satu kerajaan penting di kawasan (Lombard, 1991). Bahkan pada saat kerajaan ini dipimpin Sultan Iskandar Muda (1606-1636), …

Melihat Aceh, kita bergeser sedikit ke belakang, ke masa lalu, antara lain sebelum Indonesia merdeka. Ketika Aceh menjadi satu kerajaan penting di kawasan (Lombard, 1991). Bahkan pada saat kerajaan ini dipimpin Sultan Iskandar Muda (1606-1636), Kerajaan Aceh Darussalam menjadi salah satu dari lima kerajaan besar di dunia, selain Kerajaan Islam Maroko, Kerajaan Islam Isfahan, Kerajaan Persia, dan Kerajaan Agra (Hasjmy, 1983).

Kegemilangan kerajaan dan politik-ekonomi Aceh masa lalu, jika ditelusuri catatan sejarah, bukan tanpa gejolak dan konflik. Era Sultan Iskandar Muda termasuk masa yang berjalan stabil, setidaknya jika dibandingkan kekuasaan sebelum dan sesudahnya.

Menarik membuka kembali catatan Anthony Reid, yang mana ia menambahkan satu bab bukunya untuk diterbitkan kembali, berjudul “Aceh Bangkit”. Reid sangat yakin bahwa substansi awal mula konflik Aceh masa lalu tidak jauh dari kepentingan politik dan ekonomi (Reid, 2005).

Anthoni Reid adalah Direktur Asia Research Institute di National University of Singapore. Ia salah seorang ahli Asia Tenggara yang pernah belajar di Selandia baru dan Cambridge, dan pernah mengajar dan meneliti di University of Malaya, Australia National University, dan Yale, Aucland, Makassar, Hawaii, dan Oxford.

Seperti juga Anthoni Reid, Muhammad Said menyebut Aceh memiliki sejarah yang gemilang. Dan puncak kegemilangan itu saat Sultan Iskandar Muda (Said, 1981). Bahkan di Nusantara Aceh memiliki pengaruh. Saat itu, Aceh bahkan sudah memiliki hubungan dengan Inggris, Prancis, Belanda, dan Turki.

Berdasarkan catatan Denys Lombard, pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I sudah mengeirimkan utusannya yang bernama Sir James Lancester kepada Keraan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan dengan menyebut Kepada Saudara Hamba Raja Aceh Darussalam. Ia menyertakan seperangkat perhiasan dan mengirimkan hadiah seperti gelang dan batu rubi, bahkan surat tersebut ditulis dengan tinta emas (Lombard, 1991).

Kegemilangan ini pun kemudian redup. Sejumlah fase pergantian kekuasaan pun, sesudahnya itu, kerap berlangsung tidak normal. Dengan demikian kondisi ini juga bisa menjadi catatan dalam perjalanan sejarah Aceh.

Berbagai keadaan tersebut di atas, tidak boleh dilupakan saat kita melihat perkembangan konflik Aceh. Jadi konflik yang terjadi, harus ditelusuri juga dari perkembangan masa lalu agar kita bisa melihat Aceh secara utuh.

Leave a Comment