Pertanyaan ini tiba-tiba muncul kembali di dalam kelas saya: mengapa peringatan darurat muncul –khususnya darurat negara? Saya duga, memang mulai banyak generasi cuek, tidak peduli sekeliling, tidak mau tahu, terhadap apapun yang terjadi di sekitarnya. Apalagi dengan kondisi yang lebih besar: bangsa dan negara. Sejumlah riset memperlihatkan era generasi belakangan semakin tidak mau terhadap realitas. Mereka berpikir bagaimana mudahnya saja. Dan kerap tidak mau diribetkan dengan berbagai proses yang seharusnya dijalani dalam kehidupan ini sebagai proses belajar.
Gambaran itu, sesungguhnya hanya untuk mempermudah saya memetakan apa yang mesti dijawab untuk pertanyaan semacam itu. Jawaban saya, tentu saja sebagiannya merujuk pada sejumlah artikel. Selebihnya, saya kira ada perasaan batin tentang bagaimana keberadaan negara dijadikan alat main-main oleh para petualang politik.
Peringatan darurat melesat tajam di dunia media sosial. Gambar Garuda dengan latar berwarna biru dan di bawahnya ada tulisan “Peringatan Darurat”. Merujuk Narasi.tv, poster bertuliskan “Peringatanm Darurat” ini penggalan dari sebuah video lama yang diunggah akun YouTube EAS Indonesia Concept pada tanggal 22 Oktober 2022. EAS membuat video dengan konsep The Emerfency Alert System (EAS) versi Indonesia. EAS adalah sistem peringatan kedaruratan nasional Amerika yang didesain untuk menyebarkan pesan darurat di tengah siaran televisi dan radio. Dalam unggahannya, EAS Indonesia Concept menggunakan metode EAS untuk membuat video horror fiktif yang dikenal sebagai analog horror. Di video yang menampilkan gambar Garuda biru, terlihat peringatan darurat dengan latar belakang biru dan gambar Garuda disertai alarm morse dan musik yang terkesan menyeramkan (Fahmi, 2004).
Empat bulan yang lalu, MK membuat putusan soal pilkada. Namun ada indikasi awal waktu itu, DPR ingin mengabaikan putusan ini –khususnya yang terjadi dengan ambang batas syarat pencalonan kepala daerah. DPR pun ancang-ancang mempersiapkan pilihan lainnya: melakukan revisi terhadap UU Pilkada.
Dengan demikian, sepertinya ada skenario yang disengaja oleh politisi Senayan untuk mengabaikan putusan MK yang oleh konstitusi digunakan untuk menguji sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi. Mengubah sejumlah ketentuan dari UU Pilkada yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, ingin dilawan dengan cara revisi UU tersebut.
Posisi tersebutlah yang kontradiktif. Seharusnya DPR menjadi kekuatan utama untuk menopang apa yang diputuskan MK. Justru ketika kepentingannya kekuasaan terganggu, ternyata diabaikan dan memiliki untuk melakukan hal yang sebaliknya.
Ada soal serius yang sedang dipertontonkan. Keberadaan MK yang diatur konstitusi, ingin dilangkahi –dengan alasan juga ingin memegang konstitusi. Entah konstitusi yang mana. Maka mulai minggu ketiga Agustus 2024 itulah, gerakan ini lalu muncul dan membesar. Gerakan ini sendiri sesungguhnya adalah panggilan dalam menjaga negara hukum Indonesia.
Arus massa kemudian muncul dan terlihat. Mahasiswa sudah mulai mendemo gedung kura-kura. Sebagian besar kampus bangkit, akademisi bersuara, dan para guru besar pun menyampaikan sikap akademisnya. Namun di belantara politik, arus massa ini pun dijadikan lelucon. Pada guru besar kampus pun mulai turun gunung dan mengecam apa yang sedang dipertontonkan oleh mereka yang berkuasa (Fahmi, 2004).
Seperti disebutkan M. Syafi’ie, seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, “peringatan darurat” memberi pesan kepada kita bahwan negara Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Postingan ini didasari kegelisahan panjang dan catatan perilaku dari aktor-aktor oligarki yang bermain dengan sedemikian banal, khususnya praktik penggunaan kekuasaan untuk membangun dinasti politik (Syafi’ie, 2024). Tentu saja, lebih jauh, ini menjadi alarm juga bagi bangsa; bagi negara.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.