Alat Sisa Perang

Alexander (14 tahun) yang dari Yugoslavia itu tidak sendiri. Masa konflik, di negeri kita ada seorang anak manusia yang bernama Yusuf. Ia masih anak-anak ketika melihat oknum aparat negara memperlakukan orang tuanya tidak manusiawi. Ia …

Alexander (14 tahun) yang dari Yugoslavia itu tidak sendiri. Masa konflik, di negeri kita ada seorang anak manusia yang bernama Yusuf. Ia masih anak-anak ketika melihat oknum aparat negara memperlakukan orang tuanya tidak manusiawi. Ia juga sama seperti Alexander yang mengungkap ke publik. Bedanya, Alexander melaporkannya dengan tulisan di buku, sementara Yusuf dengan terbata-bata mengungkapkan derita yang dialami kepada tim pencari fakta yang datang.

Mereka juga tidak sendiri. Ketika proses negosiasi antara Palestina dan Israel sedang berlangsung, tiba-tiba seorang anak berusia 14 tahun yang bernama Muhammad al-Durra, ditembak tentara Israel di pangkuan ayahnya pada tanggal 28 September 2000.  Siapa yang bisa memastikan bahwa Muhammad al-Durra, anak usia 14 tahun itu, bersalah secara politik dalam konflik Palestina dan Israel? Untuk persoalan seperti itu, dunia memang sering diam. Itulah skenario, yang sutradaranya tak jelas. Sedangkan dalam kasus demikian, bahkan Perserikatan Bangsa-bangsa sekalipun, seperti tidak bisa melakukan apa-apa.

Setelah damai di negeri kita, sejauhmana para pihak muncul untuk mencari tahu adakah peledak yang tersisa yang tertanam? Beberapa kali ledakan terjadi, dan korbannya adalah anak-anak. Namun sebagai catatan bahwa sebagai kawasan bekas konflik, potensi yang demikian selalu ada. Bukan untuk menyalahkan siapa-siapa. Bergerak untuk menyelamatkan masa depan jauh lebih penting dari sekedar berdebat siapa yang salah.

Kita membutuhkan perspektif masa depan, dengan mencoba meminimalisir berbagai potensi korban yang muncul dari alat sisa perang. Seperti syair sebuah lagi, bahwa untuk hal ini tidak mungkin kita harapkan pada orang lain, melainkan pada diri kita sendiri.

Usaha yang harus dilakukan seharusnya adalah memeras otak agar semua luka bisa kita sembuhkan. Tidak perlu menghidupkan bara yang implikasinya kita bisa meraba-raba bagaimana wujudnya. Jangan berharap bara itu kembali hidup, karena terlalu besar harga yang dipertaruhkan, sedangkan mereka yang menghidupkan bara, biasanya akan tidur nyenyak dan tidak merasakan apa-apa.

Seperti sebuah luka lama, ketika bekas luka dibiarkan menanah kembali, rasa gatal akan membuat orang tidak terasa ingin mengaruknya. Lalu dalam sekejap luka akan dikerubungi lalat yang menjilat luka. Semua kita berharap semua luka bisa sembuh sempurna secara baik. Bukan dibiarkan begitu saja.

Tidak ada pengalaman yang enak dalam kondisi konflik dan perang. Berbagai buku yang bercerita tentang kisah konflik dan perang, selalu yang eksplisit adalah cerita duka dan luka. Berbagai film yang diimajinasikan oleh para sutradara dan penulis skenario, kisah konflik dan perang selalu menyiratkan air mata. Banyak sekali yang tersisa yang harus dipulihkan ketika suatu konflik dan perang sudah selesai.

Kisah Alexander, Yusuf, atau Muhammad al-Durra seharusnya sudah cukup membuat manusia memiliki alasan untuk berbicara menghentikan konflik. Seharusnya. Sayangnya, kata seharusnya saja tidak cukup untuk menggambarkan ada masa panjang untuk perdamaian.

Leave a Comment