Ada satu kata penting yang selama ini muncul, yakni milenial. Generasi yang lahir tahun 2000-an. Namun tak semata ditentukan oleh waktu, generasi ini juga terjadi ledakan produksi dengan jumlah usia produktif yang besar. Hal lain yang sangat penting adalah perkembangan cepat yang berlangsung pada generasi ini.
Menyebut generasi milenial, akan terbayang betapa generasi itu harus mempersiapkan diri dalam berbagai hal. Dengan era yang makin tajam, digilas, tergilas, atau makin bertumpuk tidak bisa berbuat apa-apa. Pada era inilah generasi produktif akan tertimbun di lumpur dalam kalau tidak mempersiapkan diri.
Ingatan itulah yang semestinya kita sampaikan ke kampung-kampung kita, agar generasi muda mempersiapkan diri lebih baik. Mempersiapkan diri bagaimana mereka menghadapi tekanan, menyelesaikan problem hidup dan kehidupan, serta memiliki ketahanan nilai agama dan budaya.
Tidak seharusnya lagi generasi muda sibuk berleha-leha. Generasi muda yang duduk tenang, menghabiskan waktu begitu saja, akan menjadi korban gilasan zaman.
Orang-orang yang malas harus diingatkan. Pengalaman saya di satu ujung kampung, saya selalu menemui seorang muda yang belum memiliki pekerjaan. Setiap harinya, ia selalu nongkrong di warung kopi. Saya tidak tahu persis namanya—dan anggap saja nama tidak terlalu penting dalam hal ini.
Saya tidak berani menyebutnya tidak memiliki pekerjaan atau istilah pekerjaan tetap. Dengan umurnya yang masih muda, masih ada jalan untuk menggerakkan kekuatannya untuk bekerja. Barangkali, saat ini, karena terlalu banyak datang orang ke kampung –untuk berbagai alasan—membuat hidupnya seolah sangat mudah.
Seperti sebuah berkah dengan letak strategis kampung ini. Dekat jalan raya negara –jalan hitam menurut orang kampung. Di sisi sebelah utara ada wilayah pesisir terhampar dengan berbagai potensinya. Sawah dengan mudah bisa diakses. Letak kebun untuk perladangan tidak begitu jauh dari kampung. Begitu juga dengan gunung, masih bisa dijangkau dalam perjalanan dua-tiga jam saja.
Dengan gambaran itu, mungkin tidak ada yang menampik bahwa kampung itu sungguh berpotensi. Orang kampung juga giat-giat. Hanya sedikit anak muda yang memilih untuk bersantai-santai.
Masalahnya adalah banyaknya orang yang datang ke kampung ini. Ada yang mereka cari di sini, yang didengar dari pelancong-pelancong. Seorang muda yang selalu saya temui, itu membantu pelancong-pelancong untuk menemukan apa yang mereka cari. Ia dengan sigap bangun dari tempat duduknya dan melangkah ke arah kendaraan setiap tamu yang datang.
Ia sangat berpengalaman. Setiap tamu, tidak lagi menanyakan apa keperluannya. Dengan tangan yang rapi ia persilakan tamu masuk ke warung kopi, terlebih dahulu. Pemilik warung juga sudah tahu dan langsung menanyakan kepada tamu untuk memesan minumannya. Tidak terlupa, satu kopi susu pancung plus sebungkus rokok kretek, untuk si anak muda.
Mendampingi pelancong, bagi dia hanya untuk mendapatkan segelas kopi susu pancung. Selebihnya, tidak ada.
Seingat saya, ia sudah melakukan pekerjaan ini sejak setahun terakhir. Berkali-kali ibunya menggugat anaknya yang tidak bekerja, seperti anak muda lain di kampung. Ia tidak peduli.
Ia tidak ingat, untuk mencuci baju pun, membutuhkan uang. Sabun dan detergen tidak didapat gratis. Ibunya sudah tua, tetapi ia seperti tidak merasa kasihan.
Suatu waktu, ketika saya datang, secara bersahaja ibunya menemui saya. Coba bilang sebentar, mungkin ia dengar. Waktu itu saya iyakan sama ibunya. Dua hari kemudian, ketika tamu sedang sepi, saya pegang tangan anak muda, saya dudukkan di sudut warung. Saya katakan: “orang-orang sudah ke bulan, apa kamu masih terus seharian hanya duduk di warung kopi?”
Ia tidak mengangguk. Menurutku, ia tidak mendengar. Saya kasih tahu ke ibunya bahwa saya telah gagal mengingatkan.
Tetapi izinkan saya mengingatkan pemuda lain, untuk tidak mencontoh anak muda ini. Orang muda tidak boleh berpangku tangan dan duduk saja. Pemuda harus belajar dan bekerja. Generasi milenial, akan meninggalkan bahkan membuat terbenam generasi yang setiap hari hanya duduk-duduk saja.