Antara Keinginan dan Kebutuhan

Kamus Bahasa Indonesia, mengartikan nalar dengan makna: (1) pertimbangan tentang baik dan buruk, dan sebagainya; akal budi; (2) aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis; jangkauan pikir; kekuatan pikir. Dengan konsep demikian, sejumlah kata kunci dari …

Kamus Bahasa Indonesia, mengartikan nalar dengan makna: (1) pertimbangan tentang baik dan buruk, dan sebagainya; akal budi; (2) aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis; jangkauan pikir; kekuatan pikir. Dengan konsep demikian, sejumlah kata kunci dari nalar, antara lain akal-budi, berpikir logis, dan kekuatan pikir. Maksudnya segala sesuatu yang diucap maupun yang dikerjakan, jika dinalar masuk melalui sejumlah kata kunci di atas.

Apa yang diterima atau ditolak untuk diucap atau dilakukan manusia, sebagian besar tidak terlepas dari nalar. Namun demikian, kebanyakan manusia menerima saja berbagai hal yang mungkin masih dipertanyakan secara nalar. Sesuatu yang dilakukan tanpa pertimbangan demikian, bisa menjadi kontra produktif dengan tujuan itu sendiri.

Saya ingin mengaitkan bagaimana nalar berdayaguna ketika iklan muncul dalam berbagai ruang. Selain televisi, iklan juga muncul di berbagai media cetak. Dengan bahasa dan kekuatan visual yang dipakai, sering menyebabkan orang tidak mempertimbangkan pilihannya.

Seharusnya ketika kita berkesempatan melihat bagaimana pesan dalam iklan, maka efek dari iklan itu sesungguhnya bisa ditimbang-timbang. Ada orang tertentu yang mampu menggunakan logika ketika melihat iklan. Orang-orang tersebut umumnya sudah bisa mencerna maksud apa yang hendak disampaikan. Apa pun yang dilihat, akan dinilai oleh nalarnya. Sesuatu yang dinilai tidak masuk akal, walau diperankan oleh model terkenal, ia tidak akan tergiur untuk membeli dan menggunakannya. Ada juga orang yang bisa mabuk dengan iklan.

Sekali waktu ketika dalam suatu diskusi, ada pemateri yang menanyakan kepada peserta mengenai keinginan dan kebutuhan. Iklan, sepertinya mengajarkan kepada kita lebih banyak keinginan ketimbang kebutuhan. Pertanyaan pembicara seminar waktu itu sederhana: “berapa banyak barang yang kita beli itu berbasis pada kebutuhan?” Jawabannya ternyata, barang yang dibeli jauh lebih banyak pada pertimbangan keinginan ketimbang kebutuhan.

Pesan-pesan yang ingin disampaikan sepertinya juga mengakomodir kepentingan tersebut. Hal ini misalnya dikaitkan dengan pertanyaan lain, waktu itu, misalnya, berapa banyak orang yang memberi sabun jenis tertentu karena memang pertimbangan dibutuhkan? Ternyata perilaku pembeli ditentukan oleh mereka yang menjadi model iklan sabun.

Menyedihkan sekali seandainya ada orang yang membeli sabun untuk tujuan tertentu. Orang yang lahir dengan kulit coklat, membeli jenis sabun tertentu karena bintang iklan, dan memberi pesan seolah-oleh jenis kulitnya bisa berubah.

Mengenai warna kulit menjadi pesan yang sangat banyak. Warna kulit dalam hal ini tidak dimaksudkan sebagai “kulit berwarna”. Maksud saya tidak ingin melihat sebagai warna kulit yang ada di dunia dengan berbagai perbedaannya. Tulisan ini secara sederhana ingin melihat orang-orang di sekitar kita dalam memaknai kulit mereka.

Secara umum, mereka yang memiliki kulit sedikit gelap, dengan terpengaruh oleh pesan iklan, merasa kulitnya sebagai sesuatu yang bisa diubah dalam sekejap –untuk menjadi putih, sebagai contoh. Maka untuk keinginan tersebut, semua yang serba –dianggap—bisa memutihkan dibeli dan digunakan. Orang-orang yang demikian, bisa dilihat dari benda bekas pakai yang dibuang di tempat sampah. Berbagai benda yang ingin menghasilkan putih terkumpul.

Keinginan demikian yang menganggap seolah-olah kulit gelapnya dalam sekejap bisa berubah –dengan bantuan benda iklan yang ditonton tersebut. Akhirnya pikiran yang muncul adalah tentang perubahan yang bisa dilakukan dalam sekejap. Orang tidak lagi menganggap bahwa segala sesuatu ada proses. Semuanya dianggap bisa serba instan.

Muncul persoalan ketika dalam kenyataannya, keinginan tersebut tidak pernah tercapai. Masalahnya walau hasilnya berbeda, kesadaran bahwa sesuatu ada prosesnya, tidak juga muncul untuk menerima sesuatu apa adanya.

Orang terjebak apa yang dinamakan dengan pemenuhan keinginan ketimbang dengan pencapaian kebutuhan. Orang tidak lagi berdiri pada logika untuk menggapai apa yang sesungguhnya diperlukan sebagai kebutuhan.

Membutuhkan lebih banyak generasi hebat untuk menjelaskan kepada awam yang banyak keinginan, bahwa seseorang harus menerima apa adanya. Ketika tergoda terhadap sesuatu yang semu, pada dasarnya adalah kisah lain dari pembodohan generasi secara berkelanjutan.

Leave a Comment