Apakah hukum itu harus adil?

Apakah hukum itu harus adil? Debat ini sudah berlangsung lama dan panjang. Bahkan jika kita buka buku Ilmu Hukum yang ditulis Satjipto Rahardjo, debat tentang ini tampak terasa, termasuk dalam cara bagaimana para filsuf merumuskan …

Apakah hukum itu harus adil? Debat ini sudah berlangsung lama dan panjang. Bahkan jika kita buka buku Ilmu Hukum yang ditulis Satjipto Rahardjo, debat tentang ini tampak terasa, termasuk dalam cara bagaimana para filsuf merumuskan apa itu hukum.

Dengan demikian, keduanya (“apakah hukum itu harus adil?” dan “apa itu hukum?) saling berkaitan. Konsep hukum akan berpengaruh ke dalam cara berpikir apakah keadilankah yang menentukan sesuatu itu yang dinamakan hukum.

Para pemikir hukum generasi awal, telah menganggap keadilan sebagai bagian penting dari keberadaan hukum. Awal abad ke-5, Agustinus telah mulai menyampaikan hal itu. Katanya tegas, bahwa hukum yang tidak adil bukanlah hukum. Para filsuf sebelumnya, Plato dan Aristotoles, memperkenalkan keadilan –walau pada tataran idea—sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Lalu tujuan abad kemudian setelah Agustinus, Aquinas mengajarkan hal yang sama, bahwa hukum itu harus adil.

Filsuf Islam yang mendalami pemikiran Aristotoles, sepeti Ibn Sina, secara tidak langsung menegaskan posisi keadilan dalam kehidupan manusia. Saat kitab suci umat Islam diturunkan melalui Nabi Muhammad, penegasan tentang adil menjadi sangat prinsip.

Seiring berjalannya waktu, berbagai perkembangan pemikiran manusia terus terjadi. Termasuk dalam dunia hukum, yang debat dan saling koreksi terus terjadi. Bahkan untuk pertanyaan-pertanyaan yang sangat substansial, masih terus-menerus dipertanyakan: apakah hukum itu harus adil?

Kadang-kadang, kehadiran hukum tertentu membuat hal yang sederhana menjadi lebih rumit. Konsep hukum dari konteks ini, diukur dengan tidak memakai rasa. Gustav Rabdruch, filosofis abad ke-20 menyebutkan adanya tiga nilai dasar hukum, yakni kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Dalam praktik, ketiganya sering bersitegang, karena tujuan yang satu belum tentu selaras dengan tujuan yang lain. Ketika negara nasional mulai terbentuk, maka yang sangat dikejar adalah hukum dengan tujuan kepastian. Alasan ini disebabkan karena semenjak lahirnya negara-negara nasional, kebutuhan akan berbagai pembangunan dipandang hanya mampu diatur oleh hukum.

Lalu lintas interaksi inilah yang membuat tuntutan dengan tujuan kepastian menjadi sangat penting. Dan tujuan kepastian ini berbeda dengan tujuan kemanfaatan dan keadilan. Sebenarnya ketiganya saling membutuhkan. Orang yang beranjak dari pandangan bahwa kepastian sangat penting, tidak bisa menjamin apakah dalam kondisi demikian bisa atau tidak mengakomodir tujuan kemanfaatan dan keadilan.

Sedangkan tujuan keadilan juga dipandang sangat penting. Bahkan dalam al-Quran, hukum yang adil ini juga diingatkan berulang kali. Beranjak dari latar belakang demikian, maka tuntutan keadilan terkait dengan usaha menjauhkan kedhaliman, dan semacamnya. Hanya hukum yang adil yang dapat memiliki rasa, dengan memahami lahir batin mereka yang bermasalah.

Menegakkan keadilan sendiri juga butuh keberanian. Orang-orang yang akan menegakkan keadilan, membutuhkan mentalitas baja, yang tidak mudah goyak dan terguncang ketika ada berbagai macam keadaan. Kondisi apapun yang akan dihadapi, tidak akan menggoyahkan seseorang pada prinsipnya, untuk menegakkan keadilan.

Kondisi yang demikian jarang terjadi. Kebanyakan orang justru tidak tahan banting, baik terhadap keadaan, maupun terhadap sesuatu yang menggiurkan. Dengan banyak kasus yang melibatkan pengadil selama ini, menggambarkan kondisi yang menggiurkan itu menghantui kehidupan pengadil dari depan dan belakang.

Untuk mengadili inilah, kadang-kadang kasus yang di dalam masyarakat sebenarnya mudah diselesaikan, menjadi sangat rumit ketika masuk wilayah hukum negara. Seseorang yang menggugat orang-orang sekelilingnya, merupakan contoh dari fenomena ini. Ada anak dan mertua yang menggugat orang tuanya. Ada abang menggugat adiknya. Masalahnya berobjek harta. Kondisi ini rumit karena menghitung sesuatu yang demikian, dalam masyarakat tertentu bisa jadi tidak masuk akal.

Seseorang yang menggugat orang tuanya, dengan alasan memiliki utang. Bagi masyarakat tertentu, alasan utang dari orang tua itu, apalagi dengan harga yang tidak seberapa, kemudian orang tua juga tidak memahami bahwa ia memiliki utang tersebut, maka itu sangat aneh bagi mereka. Orang-orang yang demikian akan mendapat juga sanksi yang sifatnya sosial dari masyarakat. Orang akan beranggapan bahwa tipe yang demikian, untuk orang tuanya saja perhitungan, apalagi untuk orang lain. Dalam kehidupan sekarang, ketika berhukum, tidak memedulikan sampai hal yang demikian. Hukum seolah tinggal dijalankan, seperti seorang pengemudi yang menghidupkan mesin kendaraan, lalu tancap gas.

Perkembangan hukum, sepasti apapun, pertanyaan tentang adil juga muncul. Pertanyaan yang secara alamiah sudah muncul sejak awal-awal hukum itu diperdebatkan: apakah hukum itu harus adil?

Leave a Comment