Bek Cet Langet

Sejumlah 234 orang memilih mundur sebagai penerima manfaat dari Program Keluarga Harapan (PKH) (Serambi, 30/01/2020). Sebelumnya diberitakan ada 13.026 orang mundur dari PKH (Serambi, 24/01/2020). Saat pertama membaca berita ini, ada perasaan bahagia di batin. Sesuatu yang paling …

Sejumlah 234 orang memilih mundur sebagai penerima manfaat dari Program Keluarga Harapan (PKH) (Serambi, 30/01/2020). Sebelumnya diberitakan ada 13.026 orang mundur dari PKH (Serambi, 24/01/2020). Saat pertama membaca berita ini, ada perasaan bahagia di batin. Sesuatu yang paling berat kita laksanakan, ternyata pelan-pelan sudah mulai berubah. Mengakui posisi diri sebagaimana adanya, adalah suatu hal yang mulia. Ada ungkapan Aceh yang penting menggambarkan keadaan ini, adalah “peugah lagee buet, pubuet lagee na” (sampaikan sebagaimana perbuatan, dan melakukan sesuatu sebagaimana adanya”.

Sengaja saya sebut “kita”, karena ada banyak orang yang semakin bergelimang ketidakjujuran. Sulit sekali orang bisa menyampaikan apa adanya. Bahkan dalam lingkungan orang-orang pandai. Orang yang sudah punya rumah, namun masih meudahoh bantuan rumah. Mereka yang menuntut ilmu, ada yang menerima beasiswa ganda. Kemana-mana bilang tidak punya apa-apa, padahal di rumah serba mewah.

Keadaan ini juga menghinggap sebagian golongan masyarakat atas, yang hidupnya bergantung proposal dan anggaran pemerintah. Mereka yang punya pangkat dan jabatan, sudah punya berbagai tunjangan, masih meurampok juga kanan-kiri. Ada yang main sulap anggaran. Ada yang main potong beasiswa mahasiswa. Main pet-pet dana aspirasi. Apakah kita tidak tahu bahwa itu tidak benar?

Atas berbagai kenyataan itu, tentu saja membahagiakan sekali ketika mendengar ada yang mundur dari program bantuan yang sudah bukan haknya. Pilihan mundur itu dengan sendirinya akan memberikan kesempatan untuk orang-orang yang membutuhkan.

Tetapi benarkah begitu? Ternyata yang ironis dan menyesakkan dada, karena ternyata sebagian orang yang memilih mundur itu bukan karena mereka merasa sudah mampu-dengan demikian sudah tidak berhak menerima berbagai bantuan-melainkan karena malu di rumahnya ditempel stiker keluarga miskin. Jika pernyataan ini dibalik, bukankah seandainya tidak ditempel stiker, tidak ada orang mampu yang mundur dari penerima manfaat PKH?

Verifikasi berlapis

Satu catatan yang mungkin bermanfaat bagi pelaksana, adalah soal data. Bukankah data penerima manfaat PKH itu sudah diverifikasi secara berlapis? Sesulit apa menentukan seseorang atau satu kepala keluarga (KK) itu masuk dalam kategori PKH atau tidak?

Saya tidak mau menjawab soal ini, karena masing-masing pelaksana dan penanggung jawab memiliki rasa yang berbeda. Tapi ketahuilah, saat saya duduk di satu tempat, saya berbicara dengan seorang awam di kampung, ia melukiskan begini: “Pak, masa sih sulit kali mendata. Di kampung kami semua orang pasti tahu kok yang mana layak dan mana yang tidak. Tapi yang sering terjadi karena hana mangat dan hana meuoh”.

Apa yang diungkapkan orang awam ini, makin menguat dugaan bahwa kita tahu semua hal tentang ketidakbenaran dalam proses, namun kita tidak mau tahu. Semua proses terjadi dengan kesadaran penuh bahwa ada sesuatu yang tidak benar. Bayangkan, ketika stiker itu ditempel, terang-benderang sudah terlihat bagaimana kondisi rumah. Mengapa harus menunggu ditolak tuan rumah karena perasaan malu?

Realitas sepertinya godaan lebih besar dibandingkan urat malu. Banyak bantuan yang akan diterima penerima bantuan PKH. Untuk mereka yang berhak, bukankah hal ini harus didukung? Ibu hamil berstatus miskin/rentan akan menerima Rp 2 juta. Anak usia dini dari keluarga miskin/rentan usia dini Rp 2,4 juta/tahun/orang, usia SD Rp 900 ribu, usia SMP 1,5 juta, SMA Rp 2,4 juta, usia lanjut Rp 2,4 juga, dan disabilitas Rp 2,4 juta. Dalam satu keluarga hanya bisa diberikan maksimal empat orang. Di samping itu, penerima PKH juga akan menerima bantuan sembako Rp 150 ribu/bulan/KK.

Dalam programnya memang penerima manfaat PKH akan mendapat bantuan sembako dan ditempeli stiker keluarga miskin. Tahun 2020, 366.434 KK akan menerima bantuan sembako Rp 659 miliar. Anggaran untuk bantuan PKH mencapai Rp 1,1 triliun untuk 282.672 orang (Serambi, 24/01/2020).

Soal mental

Godaan bantuan begitu kuat dan menjadi alasan orang yang tidak mau jujur. Bukan sekarang saja fenomena itu terlihat. Pada posisi terjepit saja, misalnya setelah tsunami. Saat korban tsunami ada yang belum dapat rumah, ternyata ada orang yang tidak korban tetapi mendapat bantuan, malah lebih dari satu. Coba bayangkan saat orang lain sedang tidak memiliki tempat tinggal, ada orang yang menyewakan rumah dinasnya.

Orang mau berperilaku tidak benar, tidak lurus, dan tidak mau apa adanya, adalah soal mental. Barangkali ada masalah dengan mental kita yang sedang sakit. Orang-orang yang berjiwa demikian, tidak akan mendapat hukuman sosial apa-apa karena mereka juga memiliki kontribusi sosial untuk waktu-waktu tertentu.

Mengapa orang mau menerima yang bukan haknya? Mengapa orang tega mengambil jatah orang lain, padahal kebutuhan hidupnya sudah lumayan mencukupi? Pertanyaan semacam ini, tidak bisa dijawab melalui apa yang terlihat saja, melainkan harus dengan melihat proses pemahaman dan pemaknaan. Dua posisi ini (pemahaman dan pemaknaan) seharusnya strategis dilakukan orang pandai. Namun ironisnya sebagian orang pandai menjadi bagian dari fenomena penyakit sosial yang harus diselesaikan.

Mengapa orang begitu tega mengakui sebagai orang miskin demi mendapatkan sejumlah bantuan, padahal realitasnya tidak miskin? Di satu sisi bisa jadi soal kesempatan. Di sisi lain, ada masalah mental yang rusak, ada orientasi peradaban yang tidak jalan, ada realitas kebersamaan sosial yang sedang oleng.

Orang-orang kecil bisa saja punya pendapat sendiri. Saya pernah mendengar ungkapan miris: “Pak, kapan lagi kami bisa ambil dari program-program begini, biar pun tidak benar, itu orang-orang atas main tipu kok bisa?”

Orang-orang kecil juga memahami apa yang dilakukan orang besar. Jangan mengira orang kecil tidak mengamati perilaku orang-orang besar. Momentum tertentu dijadikan alasan bagi sebagian mereka untuk melakukan hal yang sama: tidak jujur. Kondisi kehidupan sosial yang sedang tidak baik-baik saja, sudah mengharuskan kita melihat masalah secara utuh dan radikal. Kerusakan sosial di berbagai lini, tidak bisa lagi dibiarkan terus berlarut karena akan menghancurkan kita. Harus ada orang-orang besar yang mau menjadi contoh yang baik, teladan yang bagus.

Cara paling strategis mengantisipasi kerusakan sosial itu adalah orientasi hidup bersih. Orang tahu bahwa hidup bersih itu tuntutan, namun godaan tidak bisa dihindari saat melihat orang lain melakukan sebaliknya. Kita tidak saja butuh yang orang tahu hidup bersih, tapi juga yang bisa memberikan contoh yang baik, minimal tidak mengambil dan menerima yang bukan hak kita.

Mungkinkah kita mulai dari yang kecil-kecil bagi proses penyelesaian masalah yang sudah akut? Jika masih berpikir mumpung, masalah tidak akan selesai. Sama seperti orang yang tahu hukum korupsi, tapi tidak berdaya untuk menolaknya, bahkan dengan kadar-kadar yang kecil seperti uang minum, amplop gelap, dan sebagainya.

Jelas ada masalah dalam ruang sosial kita. Menyelesaikan masalah itu tidak mungkin dengan cet langet. Rasa saling percaya adalah jalan masuk untuk menyelesaikan masalah besar ini. Mentalitas yang rusak harus diperbaiki dengan menggulung lengan baju, bukan berdebat angka kemiskinan dalam ruang ber-AC.(st_aceh@yahoo.co.id)

Leave a Comment