Bekerja dengan Bahagia

Melakukan sesuatu harus maksimal dan sepenuh hati. Tanggung jawab yang diberikan dan diterima dengan baik, tidak hanya sebatas fisik, melainkan harus terasa di ulu hati. Seseorang yang menerima kerjaan apapun, sudah memahami dari awal sukarela …

Melakukan sesuatu harus maksimal dan sepenuh hati. Tanggung jawab yang diberikan dan diterima dengan baik, tidak hanya sebatas fisik, melainkan harus terasa di ulu hati. Seseorang yang menerima kerjaan apapun, sudah memahami dari awal sukarela atau pamrih, harus melakukannya dengan sepenuh hati. Tidak boleh setengah-setengah. Jangan hanya karena suatu pekerjaan sifatnya sukarela, menjadi alasan kita tidak melakukannya dengan maksimal.

Apa perbedaan antara kedua tipe tadi, melakukan hanya untuk fisik, atau dengan perasaan bahagia. Ada orang yang menyadari dari awal, bahwa pekerjaan yang dilakukannya, sukarela atau pamrih, namun bisa melakukannya dengan bahagia. Bukan karena alasan yang dilakukan sukarela, lantas tidak mengerjakannya dengan sepenuh hati. Justru dengan totalitas, akan melahirkan implikasi lain yang lebih besar, yakni rasa bahagia itu.

Ada orang yang karena alasan yang dikerjakannya sebatas sukarela, jadi tidak melakukannya dengan maksimal. Hal yang ini tidak boleh terjadi. Sukarela di dunia, belum tentu tidak ada ganjaran. Suatu saat, tetap ada hasil yang dipetik di kehidupan sesudahnya. Itulah yang harus diingat.

Ada pengalaman saya melihat seseorang yang mungkin jangan dicontoh. Suatu kali, ada janji yang harus saya tuntaskan dengan kemenakan, yakni tidur di rumahnya, di pinggir kota. Jauhnya sekitar 15 kilometer. Untuk sampai ke sana, jalan tidak semua mulus. Sebelumnya jalan penuh lubang dan gundukan. Sepanjang jalan, seandainya tidak ada lubang, ada gundukan yang dibuat oleh warga sendiri. Kadang-kadang serba salah juga, makanya dibuat, agar pengendara juga memelankan sedikit kendaraannya.

Atas dasar itu, maka jalan baru dibuat. Bisa jadi karena masyarakat terlalu keras menuntut, atau pemerintah memang aspiratif, atau bisa jadi juga, karena di sini memang menang partai tertentu. Makanya masih ada beberapa proyek yang sedang dilaksanakan. Bisa dibayangkan kalau berangkat sore, menjelang senja, ketika jumlah kendaraan pada jam segitu sedang padat-padatnya. Semakin padat kendaraan, semakin banyak menerbangkan debu. Ada sebagian orang yang memiliki rumah di pinggir jalan, membasahi jalan ala kadarnya untuk menghindari debu. Akan tetapi kebanyakan pemilik rumah, justru membiarkan saja apa adanya.

Debu yang diterbangkan setelah lewatnya kendaraan –lebih-lebih kendaraan yang enam atau sepuluh roda, pasti debu banyak sekali. Harap maklum, kawasan ini sering dilalui truk besar yang mengambil pasir dan kerikil. Di kawasan ini ada galian c, yang walau pemerintahnya sudah mencabut izin, namun hari-hari, kendaraan pengambil pasir hilir mudik.

Dengan kondisi demikian, saya dan istri ke rumah kemenakan. Ketika kami sampai di rumah, waktu shalat magrib hampir tiba. Hanya sebentar duduk, sudah terdengar azan dan saya memilih shalat di mushalla. Harus saya katakan bahwa kondisi mushalla ini memang unik. Bangunannya belum selesai. Tidak semua dinding sudah selesai diplaster. Seperti tempat shalat lain pada umumnya, di sini juga tersedia seorang petugas. Anehnya, shalat di sini tidak terlalu lama, dan sehabis shalat, orang juga langsung menghilang entah kemana. Petugas, ketika ada orang baru seperti saya yang datang sebentar, harus menunggu beberapa saat. Sepertinya, tugas mereka dengan cepat menggulung sajadah begitu shalat selesai.

Waktu itu, ada beberapa orang yang sepertinya juga tamu seperti saya. Petugas menunggu, karena sepertinya ia ingin cepat –mungkin ada kepentingan lain entah apa dan di mana. Ia tidak bilang apa-apa. Sajadah sudah digulung persis di pinggir orang yang sedang berdoa tersebut. Aneh sekali ketika petugas yang mengurus mushalla, namun terkesan tidak betah di mushalla. Apalagi waktu senggang antara magrib dan isya tidak terlalu lama. Sekiranya menunggu pun, tidak terlalu lama. Tetapi tidak di mushalla ini –dan mungkin banyak mushalla lain yang shalat jamaah saja mungkin kembang-kempis.

Seandainya ada kebijakan setiap tahun untuk mushalla, sangat penting bagi aparatur untuk mengkaji dan menurunkan tim, mushalla mana saja yang benar-benar aktif dan redap-redup. Mushalla yang warganya sepi di sana, harus diturunkan lebih banyak tim untuk memakmurkan jamaah.

Leave a Comment