Belajar dari Berbagai Arah

Suatu pagi saya mendapat kesempatan ikut satu seminar, terkait bidang saya, hukum perikanan dan kelautan. Informasi tentang seminar ini diberikan seorang teman, dua hari sebelumnya. Isinya ternyata sangat menarik, dengan pemateri yang menurut saya penting. …

Suatu pagi saya mendapat kesempatan ikut satu seminar, terkait bidang saya, hukum perikanan dan kelautan. Informasi tentang seminar ini diberikan seorang teman, dua hari sebelumnya. Isinya ternyata sangat menarik, dengan pemateri yang menurut saya penting.

Saya bertemu banyak teman, baik yang sudah saya kenal, maupun yang baru. Satu orang yang membuat saya tidak nyaman, ketika mempertanyakan asal saya. Ia langsung mengaitkan ada dua ketakutan yang menyebabkan ia belum ke Aceh, yakni pada ganja dan pelaksanaan syariat.

Dengan modal telepon pintar, dengan mudah saya bisa menunjukkan beberapa temuan ganja di Aceh. saya perlihatkan kepadanya secara serius. Saya katakan bahwa saya tidak semua kawasan saya tahu. Ia berpikir seolah ganja itu ada di setiap rumah, yang ketika mau memasak, tinggal memetik beberapa lembar daunnya untuk menyedapkan masakan. Setengah bercanda saya bertanya, “apa Anda mau, saya ada bawa beberapa linting?” Orang ini tersenyum pancung.

Bagi saya pribadi tidak masalah orang mengira macam-macam tentang ganja. Namun ketika berbicara kepada orang lain, tidak berlagak bahwa seolah ia yang tahu masalah, padahal belum sekalipun ke Aceh. Banyak orang yang tanya tentang ganja, tetapi tidak menyudutkan seperti yang saya dengar pagi tadi, yang hadir dari mulut seorang akademisi.

Hal yang lain ketika ia samakan cambuk dengan syariat. Saat ngobrol panjang lebar, ternyata ia pernah melihat televisi seorang yang dicambuk pingsan. Sekali lagi saya buka telepon pintar dan memperlihatkan bagaimana tata cara cambuk menurut satu instruksi gubernur, mulai dari ukuran rotan, sampai kepada tingkat derajat algojo ketika mencambuk.

Seringkali orang berlagak seperti tahu masalah secara kompleks, padahal sesungguhnya tidak tahu apa-apa. Bercerita tentang banyak hal yang tidak benar kepada orang lain, tidak selalu karena suka-suka. Sering terjadi justru karena berbagai kepentingan yang ada di belakangnya.

Suatu kali kepada orang yang berbeda saya bercerita tentang bagaimana negeri kami itu menuju proses damai. Di awal proses, bahkan untuk menghentikan perang pun, banyak yang tidak setuju. Mereka kampanye ketidaksetujuannya, tetapi di mulutnya berbicara berbuih kemanusiaan. Orang-orang terhormat yang berapi-api meminta perang dilanjutkan. Sepanjang bukan ketika proses awal, inilah yang terjadi. Mereka yang duduk dalam ruang berpendingin, tidak merasakan bagaimana derita orang banyak.

Ada keharuan yang dalam ketika damai disepakati. Satu dekade sudah, damai itu diteken. Prosesnya pun berlangsung jauh nun di sana. Helsinki, sebuah kota di Finlandia. Mantan Presiden negeri itu, sekaligus menjadi mediator bagi penyelesaian gejolak berdarah-darah di tanah ini. Sudah berganti orang, berganti jadwal, berganti simbol, hingga sampai di satu titik damai ini. Sebelumnya sudah belasan kali pertemuan dilaksanakan, untuk menemukan titik temu. Namun masalah tidak juga selesai.

Di daerah ini, sudah berlangsung lama adanya rasa permusuhan yang sangat. Rasa permusuhan itu kali berganti-ganti pula. Sebelum damai, orang bermusuhan bisa berbeda dengan mereka yang sudah berdamai. Persaudaraan dan permusuhan, sepertinya berlangsung dalam masa-masa yang berganti-ganti.

Ketika saya sedang sekolah di madrasah, mendengar temuan mayat di kampung-kampung, bukanlah berita yang ganjil. Namun anak-anak banyak yang tidak mampu untuk melihatnya, karena kondisi mayat yang brbagai rupa. Kami di kampung, menyaksikan satu orang yang meninggal, berbulan-bulan rasanya tidak nyaman tidur. Entah ada perasaan apa. Berita orang meninggal menjadi sesuatu yang sangat luar biasa menyesakkan dada. Kondisi ini berbeda dengan masa-masa buruk di tanah ini. Anak-anak kecil sudah sering mendengar ada mayat yang diletakkan di berbagai tempat. Ada yang ditaruh di pasar ikan. Orang-orang yang entah memiliki kesalahan apa, tiba-tiba bangun pagi menyaksikan ada mayat yang terikat di pohon depan rumahnya. Di parit-parit, bahkan di tempat yang dianggap angker.

Lalu ada masanya lagi menyaksikan bagaimana orang berperang secara terbuka. Tidak terhitung berapa banyak orang yang mati bukan karena berperang, melainkan karena peluru nyasar. Orang-orang yang seharusnya tidak terkait secara langsung, tiba-tiba banyak menjadi korban yang begini rupa.

Atas kondisi inilah, ketika mengingat masa kecil, maka damai ini adalah sesuatu yang harus diambil. Tidak boleh egois, bahwa damai yang memberikan makna bagi peradaban dan kemanusiaan, harus dijaga. Tidak boleh membangun lagi rasa permusuhan, baik dengan orang-orang yang dulu dianggap musuh, maupun orang-orang yang dulu dalam satu barisan. Sudah cukup ada orang yang dulu entah memberi informasi yang salah, atau dengan sengaja mengorbankan orang lain, hentikanlah. Orang yang dulu mengorbankan nyawa orang lain, bertaubatlah.

Terlalu banyak yang dikorbankan sekiranya damai ini dihancurkan. Terlalu banyak muncul rasa bengis terhadap manusia dan kemanusiaan, ketika damai ini musnahkan. Jangan ada orang yang hanya karena kepentingan masa pendek, target yang sangat individual, kepentingan yang sangat material, lalu mengorbankan bangunan peradaban yang sudah terbangun lama.

Sepuluh tahun lalu, puluhan ribu orang menyemut ke masjid raya hanya untuk menyambut damai. Yang mereka tahu, hanya dekat dengan masjid, semuanya akan mendapat berkah yang lebih besar. Jangan biarkan tangisan ini kembali pecah, akibat tidak mampu lagi menerima hal-hal yang tidak berkemanusiaan.

Harus diingat bahwa orang yang memecah kesunyian tidak selalu yang menabuh gendang. Pemetik manfaat selalu ada di suatu lingkaran. Orang-orang yang lebih bahagia ketika banyak orang lain menderita. Banyak mendapatkan hasil saat orang lain justru panceklik.

Siapa pun yang bersuara, seyogianya selalu menggunakan hati agar apa yang dibicarakan selalu berpotensi untuk tidak menyakitkan orang lain. Berbicara dengan menuduh, berposisi sebagai orang yang paling tahu, atau yang lebih ngeri mencari popularitas dengan penderitaan orang lain, itu sangat tidak manusiawi.

Sebelum berbuat dan menyebut sesuatu, harus memahami orang lain. Berusaha untuk memahami orang lain secara sempurna, agar tidak ada kesimpulan atau kesengajaan yang salah.

Leave a Comment