Dissenting opinions dimungkinkan muncul dalam putusan mahkamah. Dissenting opinions merupakan pendapat berbeda dari sisi substansi yang mempengaruhi perbedaan amar putusan, dan ia harus dituangkan dalam putusan (MKRI, 2010). Hal-hal yang memungkinkan dilihat hakim (konstitusi) bisa saja dari fakta hukum maupun sisi pertimbangan hukum. Namun demikian, adanya dissenting opinions tidak mengurangi kekuatan hukum dari suatu putusan mahkamah.
Adanya perbedaan pendapat dalam setiap proses pengambilan keputusan pada dasarnya sebagai hal yang lumrah (Wijayanto, 2024). Pendapat-pendapat berbeda akan tetap dicatat, meskipun tidak memiliki kekuatan mengikat sebagai preseden (Annisa, 2024).
Saya kira dari berbeda pendapat inilah, kita bisa belajar untuk memahami lebih utuh tentang sesuatu hal, yang kadangkala tidak secara lengkap bisa dipikirkan oleh orang lainnya. Lewat perbedaan pendapat pula, kita bisa mendapatkan pengetahuan secara lengkap dari bagaimana cara hakim dalam melihat suatu fakta hukum atau sisi pertimbangan hukum.
Saya ingin melihat bagaimana pendapat berbeda turut ditunjukkan Hakim Konstitusi pada perkara Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang menguji delik penghinaan. Namun untuk catatan saya, tidak semua perbedaan pendapat saya tunjukkan, melainkan pada sisi tertentu. Kita bisa mengakses perbedaan pendapat ini secara lengkap dalam risalah putusan.
Untuk perkara ini, yang putusannya dibacakan tanggal 6 Desember 2006 oleh Ketua merangkap Anggota, Jimly Asshiddiqie, menyatakan tiga hal, yakni: (1) Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Undang-Undang Hukum Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; (3) memerintahkan putusan tersebut dalam Berita Negara.
Selain Jimly Asshiddiqie sebagai Ketua merangkap Anggota, dalam majelis ada juga anggota H.M. Laica Marzuki, H.A.S. Natabaya, Maruarar Siahaan, Abdul Mukthie Fadjar, H. Achmad Roestandi, Harjono, I Dewa Gede Palguna, dan Soedarsono. Dissenting opinions sendiri disampaikan empat Hakim Konstitusi, yaitu I Dewa Gede Palguna, Soedarsono, H.A.S. Natabaya, dan H. Achmad Roestandi.
Saya ingin melihat sisi dissenting opinions dari Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Soedarsono. Menurutnya, norma norma undang-undang yang mengatur secara khusus ketentuan tentang penghinaan terhadap Presiden (dan/atau Wakil Presiden), apakah ia bertentangan dengan UUD 1945? Menurutnya, berangkat dari sejarahnya, KUHP yang berlaku saat ini adalah berasal Wetboek van Strafrecht yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial. Penghinaan terhadap lembaga Presiden, menurut sejarah penyusunannya, bertolak dari maksud untuk melindungi martabat Raja. Masalahnya apakah masih tetap relevan diterapkan juga terhadap Presiden (dan Wakil Presiden) saat ini?
Hakim Konstitusi berpendapat bahwa ruh dari seluruh ketentuan UUD 1945 sebagai satu kesatuan sistem adalah semangat untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum. Kebebasan atau kemerdekaan menyampaikan pendapat harus dilindungi. Tetapi pelaku penghinaan tidak dapat berlindung di balik kemerdekaan menyampaikan pendapat. Situasi penghinaan bukan persoalan konstitusional norma, melainkan persoalan penerapan norma. Suatu norma yang konstitusional tatkala diterapkan di dalam praktik oleh aparat penegak hukum memang terdapat kemungkinan melanggar hak-hak konstitusional seseorang, antara lain karena keliru dalam menafsirkannya. Namun, kekeliruan dalam penafsiran dan penerapan norma sama sekali berbeda dengan inkonstitusionalitas norma.
Untuk mengatasi persoalan demikan itulah mahkamah konstitusi di negara lain, di samping diberi kewenangan untuk mengadili perkara pengujian undang-undang (judicial review atau constitutional review), juga diberi kewenangan untuk mengadili perkara-perkara constitutional question dan contitutional complaint. Constitutional question terjadi apabila seorang hakim (di luar hakim konstitusi) meragukan konstitusionalitas suatu norma hukum yang hendak diterapkan dalam suatu kasus kongkret, sehingga sebelum memutus kasus dimaksud hakim yang bersangkutan mengajukan permohonan (pertanyaan) terlebih dahulu ke mahkamah konstitusi perihal konstitusionalitas norma hukum tadi; Sedangkan constitutional complaint terjadi tatkala seorang warga negara mengadu ke mahkamah konstitusi bahwa tindakan atau kelalaian suatu pejabat negara atau pejabat publik (state official, public official) telah melanggar hak konstitusionalnya sementara segala upaya hukum biasa yang tersedia sudah tidak ada lagi (exhausted). Kedua kewenangan tersebut, constitutional question dan constitutional complaint, tidak dimiliki oleh Mahkamah ini – setidak-tidaknya sampai dengan saat ini.
(Foto: Tirto.id)