Soal bagaimana negara-negara di dunia akan menangani realitas dan dampak dari perubahan iklim, sudah dibicarakan dalam hajatan United Nations Conference on Environment and Development atau Earth Summit di Rio de Janeiro yang berlangsung pada tanggal 3-14 Juni 1992. Idealnya, Konferensi Lingkungan dan Pembangunan ini sebagai penyambung dari Pertemuan yang berlangsung sebelumnya di Stockholm, pada dua dasawarsa sebelumnya. Namun ada alasan tertentu, tahun 1982 tidak ada perhelatan konferensi atau pertemuan tingkat tinggi –yang harusnya setiap 10 tahun sekali pertemuan ini diadakan.
Ada dua konsekuensi waktu yang menjadi implikasi dari setiap pertemuan. Pertama, pada masa depan, pembicaraan sangat tergantung dari isu yang muncul, yang mana durasi pertemuan selain konferensi tingkat tingga, ada banyak agenda lain berlangsung di luar waktu tersebut. Kedua, ada dampak dari konsensus. Dalam satu kesepakatan, biasanya ditentukan jangka waktu untuk membicarakan hal-hal lain, sebagaimana ditentukan dalam konsensus utama.
Pertemuan di Rio de Janeiro sendiri sangat menarik. Acara ini diikuti banyak pihak. Sebanyak 172 negara hadir, di mana 108 di antara langsung dihadiri kepala negara atau kepada pemerintahan. Selain itu, ada ribuan perwakilan dari organisasi nonpemerintah.
Sebagai mana beberapa pertemuan selanjutnya, agenda di Rio de Janeiro juga turut membahas persoalan kemiskinan. Konferensi ini menghasilkan Deklarasi Rio, Agenda 21, Forests Principles, Konvensi Perubahan Iklim dan Keanekaragaman Hayati. Konferensi juga menghasilkan konsep pembangunan berkelanjutan yang mengandung tiga pilar utama yang saling terkait dan saling menunjang yakni pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan pelestarian lingkungan hidup.
Sejumlah realitas negara-negara di dunia dihadapkan pada limbah radioaktif atau timbal bensin yang dihasilkan dari proses-proses produksi. Hal yang paling parah adalah emisi gas rumah kaca dan polusi udara yang berdampak ke banyak sektor. Termasuk soal kelangkaan air yang dirasakan sejumlah negara.
Indonesia sendiri sudah meratifikasi dalam undang-undang nasional sejumlah konsensus, antara lain Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim; Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim.
Sebagaimana disebutkan di atas, konsensus lain selain Deklarasi Rio adalah Agenda 21, yang pada dasarnya dokumen tentang rencana aksi yang sifatnya tidak mengikat dari PBB mengenai pembangunan berkelanjutan. Dokumen Agenda 21 berdasarkan konsensus dari 178 negara yang terwakili dalam Konferensi Rio.
Agenda 21 ini berbentuk dokumen komprehensif setebal 700 halaman yang berisikan program aksi pembangunan berkelanjutan abad ke-21. Kata 21 itu merujuk pada awal abad. Penyusunan dokumen tersebut dilakukan melalui serangkaian penelitian selama waktu dua tahun, penyusunan konsep dan negosiasi intensif yang dilakukan sebelum dan menjelang konferensi, akhirnya Agenda 21 ditandatangani oleh semua negara (termasuk Indonesia). Dokumen ini dapat digunakan oleh semua pihak: baik pemerintah, organisasi internasional, kalangan industri, maupun elemen masyarakat lainnya dalam rangka mendukung pengintegrasian lingkungan ke dalam seluruh kegiatan sosial dan ekonomi (Hardjasoemantri & Supriyono, 2014).
Dokumen Agenda 21 terdiri atas empat bagian, meliputi: Bagian 1 dimensi ekonomi dan sosial berorientasi pengentasan kemiskinan; Bagian 2 konservasi dan manajemen sumber daya dan pembangunan; Pada bagian 3 penguatan peran kelompok besar; Bagian 4 sarana implementasi yang mencakup ilmu pengetahuan, transfer teknologi, dan mekanisme finansial.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.