Ada satu ungkapan orang bijak, mengingatkan kita bahwa hidup itu selalu akan ada saja tantang yang dihadapi. Tidak semua proses kehidupan berjalan mulus. Orang besar dan orang kecil berpeluang mendapatkan kemudahaan dan kesukaran hidup menurut kemampuannya. Agama mengingatkan bahwa cobaan itu tidak mungkin di luar kemampuan manusia menerimanya.
Anda mau jadi apa? Ingin jadi rumput yang berpotensi selalu diinjak? Atau ingin jadi pohon bambu tinggi yang selalu ditimpa angin? Namun yang harus menjadi catatan, semua proses harus berjalan dan berfungsi.
Begitu mendengar ada orang yang mendengar, bukan pada pertanyaan berapa lama, melainkan seberapa manfaat. Umur manusia, menurut orang yang arif, selalu diukur dengan kemanfaatan. Bukan pada panjang atau pendeknya umur. Tidak ada jaminan bahwa orang yang berumur panjang akan selalu lebih bahagia dari orang yang berumur pendek. Sebaliknya, orang yang berumur pendek juga tak selalu berarti lebih unggul dari orang yang berumur panjang. Dalam masyarakat kita selalu diingatkan agar umur kita berkah, maksudnya bukan pada lamanya seseorang mendapat atau diberi umur panjang oleh Yang Maha Kuasa. Akan tetapi pada semanfaat apakah orang tua bagi dirinya dan bagi orang dan makhluk lain.
Masalahnya dalam masyarakat kadangkala salah mengira. Ketika disebut berkah seolah-olah harus dengan panjang umur. Kita berharap umur panjang, dibarengi dengan kemampuan dan berdaya untuk menjadi hamba Allah. Bukan mencoba-coba menjadi orang yang melawan Pencipta. Misalnya kita didoakan agar sampai ke tanah suci, sebagai pengharapan agar bisa menunaikan semua rukun Islam. Haji hanya diwajibkan bagi orang yang mampu. Pertanyaannya adalah mengapa tidak semua orang yang mampu menunaikannya? Pertanyaan semacam ini sama seperti pertanyaan mengapa orang yang kuat tetapi tidak beribadat? Ketika bulan puasa, kita menyaksikan banyak orang yang kekar justru tidak berpuasa. Sebaliknya, mereka yang terbaring di rumah sakit, kadangkala dipaksa dokter untuk tidak berpuasa pun dilawannya.
Sebagai simbol lengkapnya hidup, maka berhaji dianggap sebagai ibadah rukun kelima yang melengkapi semua pelaksanaan ibadah rukun. Akan tetapi dalam kenyataan, orang berhaji sekali sebagai simbol orang berkemampuan, pun tidak boleh melupakan orang yang ada di sekelilingnya. Berhaji di tengah orang lapar, misalnya, menjadi dipertanyakan. Sebaliknya ada ibadah tertentu yang dilaksanakan oleh orang yang kurang atau tidak mampu, dianggap sama seperti ibadah haji. Begitu lenturnya kalkulasi dalam kehidupan ini, ketika semua diukur dengan kemanfaatan kehidupan manusia.
Sekali lagi, berkah itu menjadi sangat penting untuk dicatat. Orang yang berkah dalam hidup yang berhasil melalui perjalanan singkat ini dengan sempurna. Ujung dari doa keberkahan adalah mendapatkan akhir hidup yang baik di dunia, untuk kemudian mendapatkan kemudahan hidup pada level kehidupan yang selanjutnya. Ibarat bercocok tanam, orang yang berkah adalah orang yang tidak hanya menanam tumbuhan, melainkan ia merawat dan menjaganya dengan optimal. Orang yang demikian, berpeluang besar untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Sebaliknya, mereka yang hanya mempersiapkan dengan biasa-biasa saja, jauh untuk mendapatkan peluang untuk kehidupan yang lebih baik.
Jadi mulai sekarang, bermanfaatlah hidup dan kehidupan. Jangan pernah melalaikan semua hal yang menjadi kewajiban kita sebagai manusia. Kita tidak tahu hidup kita panjang atau pendek. Sebagai manusia, kita harus siap kapan pun jatah hidup kita diakhiri.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.